Selasa, 18 Maret 2014

Keunggulan Bangun Lebih Pagi


1. Membuat orang lebih sukses
Sebuah penelitian pada tahun 2008 yang dilakukan di texas University menemukan bahwa mahasiswa yang sering bangun pagi memiliki nilai yang lebih tinggi pada GPA mereka dibandingkan dengan mahasiswa yang suka begadang dan jarang bangun pagi.
2. Orang yang bangun pagi lebih bahagia
Bahagia di sini bukan berarti merasa senang dalam waktu 15 menit setelah bangun pagi, melainkan membuat mood seseorang lebih bahagia secara umum setiap hari. Penelitian menunjukkan bahwa manula cenderung lebih bahagia daripada anak-anak muda karena mereka lebih sering bangun pagi. Sementara anak-anak muda dan dewasa yang sering bekerja dan bermain hingga larut malam, dan jarang bangun pagi memiliki mood yang lebih buruk setiap harinya.
3. Memiliki tubuh yang lebih sehat dan bugar
Bangun pagi membuat orang lebih bersemangat untuk olahraga dan menghirup udara segar. Tentu saja, ini membuat tubuh mereka lebih bugar dan sehat. Kebanyakan orang yang sukses memiliki kebiasaan bangun lebih pagi. Olahraga dan menghirup udara segar di pagi hari bisa meningkatkan mood dan memberikan energi untuk beraktivitas.
4. Lebih produktif
Bangun pagi membuat seseorang lebih produktif. hal ini karena orang yang bangun lebih pagi memiliki waktu untuk menyiapkan pekerjaan, sementara orang lain masih tertidur. Mereka memiliki waktu yang hening dan baik digunakan untuk berkonsentrasi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh profesor biologi di University of Education di heidelberg menemukan bahwa orang yang bangun lebih pagi memiliki energi yang lebih banyak.
5. Membuat mental lebih sehat dan positif
Orang yang bangun lebih pagi memiliki mood yang lebih baik dan mental yang lebih optimis. Mereka juga lebih mudah merasa puas. Sementara itu orang yang terbiasa bangun di malam hari dan tidur di pagi hari, meski dikaitkan dengan kecerdasan dan kreativitas, cenderung memiliki mood yang negatif seperti perasaan depresi dan pesimis.
Tentu saja, tak semua orang bisa bangun pagi hari. Bisa jadi pekerjaan memaksa orang bangun hingga malam hari dan tidur di pagi hari. Namun jika ingin mendapatkan manfaat di atas, Anda sebaiknya mulai membiasakan diri untuk bangun lebih pagi, atau setidaknya menyempatkan diri bangun di pagi hari.

Konsepsi Adat Minang Kabau


Konsepsi Adat Minang Kabau
A. Pengertian Adat Minangkabau
Setiap suku bangsa atau bangsa, sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka struktur masyarakatnya (modern) umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri,yang berbeda satu sama lainnya.Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah perpaduan dari nilai-nilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu sendiri, yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku bangsa atau bangsa itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau (orang  inang), yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan ADAT MINANGKABAU.
Dapat diakatakan bahwa Adat Minang adalah merupakan falsafah kehidupan yang  menjadi budaya atau kebudayaan Minang. Ia merupakan suatu aturan atau tata cara kehidupan masyarakat Minang yang disusun berdasarkan musyawarah dan mufakat dan diturunkan secara turun temurun secara alamiah.
Pengertian adat dalam kehidupan sehari-hari orang Minang memberikan makna sebagai Sawah diagiah bapamatang, ladang diagiah bamintalak, Nak babedo tapuang jo sadah, Nak babikeh minyak jo aia, Nak balain kundua jolabu.Ungkapan petatah petitih ini merupakan kaidah sosial yang mengatur tata nilai dan struktur masyarakat, yang membedakan secara tajam antara manusia yang berbudaya dengan binatang dalam tingkah laku dan perbuatannya. Demikian adat Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan mulai dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih luas, misalnya; kehidupan politik, ekonomi, hukum, dsb.
B.Dasar Filsafat Adat Minangkabau
Dalam adat Minangkabau terdapat beberapa ketentuan yang memberikan ciri khas kepada adat Minang sebagai falsafah dan pandangan hidup. Ketentuan itu adalah fatwa-fatwa adat Minang berdasarkan ketentuan alam nyata. Dengan demikian maka adat Minangkabau itupun dengan sendirinya mempunyai dasar falsafah yang nyata pula.
Pertumbuhan dan perkembangan adat Minang semenjak dahulu kala secara garis besarnya terbagi atas dua priode; yaitu priode sebelum Islam datang dan priode setelah Islam datang. Sebelum Islam dianut oleh masyarakat Minang  tata nilai kehidupan masyarakat Minang umumnya dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buda. Sebelum tahun 914 Masehi di Minangkabau terdapat kebudayaan Hindu, dan sebagai bukti sejarah, ditemukannya Candi Muara Takus. Namun kebudayaan Hindu ini tidak mempunyai bekas dalam kebudayaan Minang, dan ketentuan adatnya hanya didasarkan pada kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia sesuai dengan keinginannya, sehingga bisa terjadi prilaku atau perbuatan tidak terpuji tetapi dibenarkan oleh adat.
Ketentuan-ketentuan ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan corak yang merupakan pernyataan langsung dari ketentuan-ketentuan itu berupa petatah petitih, pantun, gurindam dsb. Umumnya mengandung anjuran dan aturan dalam bertingkah laku berdasarkan ketentuan alam secara langsung dengan perumpamaan. Inilah yang dimaksud oleh petatah petitih adat yang berbunyi “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru” .
Jadi sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minang telah menjadikan sunnatullah yang terdapat dalam alam ini sebagai dasar adat Minangkabau. Apa yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau i’tibar bagi kehidupan Alam yang terkembang di hadapan kita sebagai makhluk Allah adalah flora, fauna dan benda alam lainnya. Pada alam ini berlaku hokum alam (sunnatullah) Berdasarkan hukum alam ini dibuatlah ketentuan adapt berupa petatah petitih, misalnya : api panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan, berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, kambing mengembek, harimau mengaum dsb.
Jadi pada dasarnya pada priode ini adat Minang telah mendasarkan ajarannya kepada sunnatullah (hukum alam) sebagai guru dan i’tibar. Pada taraf  ini adat hanya bersendikan alur dan patut. Setelah Islam datang ke Minangkabau Sampai dengan masa pemerintahan Adityawarman (1347-1376), kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) masih menganut agama Budha. Barulah pada masa anaknya Ananggawarman yang bergelar Raja Alif, Minangkabau telah menjadi Islam.
Secara berangsur-angsur tatanilai kehidupan masyarakat Minang berubah dan dipengaruhi oleh ajaran Islam. Semenjak itu ada yang rumusannya tidak lagi didasarkan pada musyawarah dan mufakat, akan tetapi berdasarkan ketetapan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-nya. Namun yang harus difahamni adalah bahwa ketika Islam datang ke Minangkabau bukan tidak terjadi konflik antara adat dan Islam, akan tetapi konflik itu akhirnya menyatu menjadi integrasi antara adat dan Islam.
Tahapan-tahapan yang dilalui sampai mengambil bentuk integrasi itu adalah sbb :
Tahap pertama adalah tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi dalil. Dalam tahap ini adat dan syarak jalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling mempengaruhi. Masyarakat Minang mengamalkan agamanya dalam bidang akidah dan ibadah, sedangkan bidang sosial mereka memberlakukan adapt.
Tahap kedua adalah adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Dalam tahap ini salah satunya menuntut hak mereka kepada pihak lain sehingga keduanya sama-sama dibutuhkan tanpa ada yang tergeser. Pada tahap ini terjadi adat dan syarak saling membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan. Hubungan kekerabatan di Minang mulai diperluas melalui sistim bako anak pisang.
Tahap ketiga adalah tahap adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Pada tahap ini antara adat dan syarak telah terintegrasi. Ini berawal dari kesepakatan yang dibuat di Bukit Marapalam.
Berdasarkan penjelasan tersebut sesungguhnya dapat dijelaskan tiga bentuk derajat falsafah adat Minangkabau..
1.      Bentuk yang berdasarkan agama, yang merupakan derajat tertinggi karena didasarkan pada firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
1.      Bentuk yang berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan terdapat dalam alam nyata yang dinyatakan dalam bentuk hukum alam atau sunnatullah.
1.      Corak dan derajat terendah adalah timbul dari buah fikiran manusia,seperti filosuf
Jadi dasar falsafah adat Minangkabau itu bertumpu pada ketetapanketetapan Allah dan Rasulnya, yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya, termasuk yang dapat dicermati dari ayat-ayat Kauniah yang berupa Sunnatullah (hukum alam). Sedangkan pemikiran para filosof Minang sendiri menempati posisi yang paling rendah dari dasar falsafat adat Minang tersebut.
C. Tingkatan Adat Minangkabau
Dari proses pertumbuhan dan perkembangannya adat Minang sampai dewasa ini, seperti yang telah disinggung di atas terdapat empat jenis adat, yaitu:
1.      Adat istiadat
1.      Adat nan teradat
1.      Adat nan diadatkan
1.      Adat nan Sabana adat.
Adat jenis 1 dan 2 diformulasikan melalui musyawarah mufakat dari suatu kelompok (nagari) masyarakat sesuai dengan kondisi dan priode waktu tertentu. Karenanya kedua jenis adat ini dapat berubah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Jenis adat 3 adalah diformulasikan dengan kesepakatan berdua oleh Dt.Perpatih nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan. Dt.Perpatih Nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan adalah dua orang pemikir dan peletak dasar adat Minangkabau. Merekalah yang membuat patokanpatokan yang akan diberlakukan bagi anak keturunannya, yaitu masyarakat Minangkabau.
Patokan-patokan yang telah mereka buat itu kemudian terlestarikan dalam bentuk TAMBO ADAT MINANGKABAU. Tambo adalah teks yang menjelaskan penghadapan Minangkabau dengan dinamika sejarahnya, bagaimana perubahan bisa diterangkan dan bagaimana pula realitas sekitar harus difahami. Dengan demikian Tambo bukan saja merupakan pertanggungan jawab kultural, tetapi juga landasan tradisi. Tambo memberikan patokanpatokan rasionalitas tentang hal-hal yang menguntungkan, dan landasan normatif tentang hal-hal yang menyenangkan. Dengan kata lain Tambo dapat dilihat sebagai Weltanschaung dan sekaligus ethos Minangkabau.12 berdasarkan ketentuan dan sifat alam yang berkembang, dihimpun dalam bentuk petatah petitih Minang, dan sifatnya tetap dan tidak berubah dan sesuai sepanjang masa.
Sedangkan adat jenis ke 4 ialah aturan atau ketentuan kehidupan yang terjadi menurut sifatnya berdasarkan ketentuan alam ciptaan Tuhan dan juga berdasarkan ketetapan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu adat ini juga bersifat kekal. Hal ini terungkap dalam ungkapan :
Bamain api tabaka
Bamain aia basah
Bulek aia dek pambuluh
Bulek kato dek mufakat dsb
Dari penjelasan di atas tampak bahwa ketentuan adat yang disusun dari ketentuan alam, baik sifat atau hukumnya yang bersifat logik dan benar, tidak bisa dibantah kebenarannya. Kebenaran yang tidak bisa dibantah inilah yang terdapat pada adat jenis 3 dan 4, yang disebut dalam petatah petitih : Adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuk dek hujan, dibasuh bahabih aia, dikikih bahabih basi, dianjak tak layua, dibubuik tak mati.
Bermain api terbakar – karena sifat api itu memang membakar, bermain air itu basah, karena sifat air itu basah dan membasahi. Bulat air karena pipa, karena sifat air mengikuti tempatnya. Bulat kata adalah karena mufakat.
Adat yang tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan, jika dibasuh menghabiskan air, jika dikikis menghabiskan besi, jika dipindah ia tidak akan layu, dan  jika dicabutpun ia tak akan mati.
D.Sifat Adat Minangkabau
Sifat adat Minang, sebagai akibat logis dari jenis adat di atas maka dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu yang lestari dan yang berubah Selagi orang Minang taat memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT maka nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan adat nan sabana adapt akan lestari sepanjang masa. Seseorang yang mengaku orang Minang akan/harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut.
Demikian juga struktur masyarakat Minang yang tersusun menurut garis ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang mereka Dt.Perpatiah nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan, akan tetap menurut garis ibu. Seseorang hanya berhak mewarisi sako (penghulu adat) kalau lai tumbuh dibukunyo, artinya yang bersangkutan jelas silsilah atau ranjinya menurut keturunan garis ibu yang ikatannya adalah batali darah, yang dikenal dengan ungkapan :
·         Biriak biriak turun kasasak
·         Tibo disasak makan-makan
·         Dari niniak turun ka mamak
·         Dari mamak turun ka kamanakan.
Begitu juga pewarisan pusako (harta pusaka) pada dasarnya tetap melalui garis keturunan ibu. Kedua contoh ketentuan adat tadi tidak akan mengalami perubahan, dan bersifat sangat prinsip dalam struktur masyarakat dan adat Minang. Tentu saja tidak seluruh jenis adat bersifat tetap, nan tak lakang dek paneh dan tak lapuk dek hujan. Jenis adat nan teradat dan adat istiadat dapat saja berubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan kemajuan zaman. Ketentuan ini diungkapkan dalam petatah petitih :
·         Sakali aia gadang
·         Sakali tapian baranjak
·         Walaupun barubah disitu situ juo
·         Sakali gadang batuka
·         Sakali peraturan barubah
·         Namun adat baitu juo.
Artinya : Sekali air besar/bah, maka tepian mandi ikut berubah, walaupun berubah, perubahannnya hanya di sekitar tempat itu juga. Jika terjadi perubahan keadaan dan lingkungan, maka peraturannyapun ikut berubah, tidak terkecuali adat Minang. Jadi pada umumnya adat Minang itu bersifat terbuka hal ini sejalan dengan ungkapan yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
·         Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang
·         Dimano ranting dipatah, disinan aia disauk
·         Masuk kandang kambiang mangembek
·         Masuk kandang kabau malanguah.
·         Tibo di rantau induak samang dan dunsanak cari dahulu
Dengan demikian ketika kita hendak mencoba memahami adat Minang, yang perlu untuk kita ketahui adalah nan ampek (yang empat) Yang dimaksud dengan yang empat itu adalah, bahwa patokan-patokan hidup itu didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang disederhanakan dalam bentuk pasangan-pasangan aturan itu didasarkan atas empat patokan.
Nan ampek itu ialah :
1.      Asal suku di Minangkabau adalah ampek; Bodi, Caniago, Koto dan Pilang.
1.      Mula-mula adat diciptakan oleh nenek moyang kita adalah; adapt
1.      bajanjang naik batanggo turun,adat babarih babalabeh, adat baukua jo
1.      bajangko, adat batiru bataladan.
1.      Jalan yang harus dilalui dalam hidup ini ada empat; jalan mandata, jalan
1.      mandaki, jalan melereng dan jalan manurun
1.      Ajaran adat ada empat; raso, pareso, malu dan sopan.
1.      Dasar nagari ada empat; taratak, dusun, koto dan nagari.
1.      Kato-kato ada empat; kato pusako, kato mufakat, kato kamudian dan kato dulu.
1.      Hukum ada empat; hukum ilmu, hukum kurenah, hukum sumpah dan hukum perdamaian.
Itulah beberapa penjelasan singkat di seputar Konsepsi Adat Minang.

DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta, Gunung Agung 1984).
Jurnalis Kamil Dt.Toenaro nan Bapandiang Ameh, Adat Minangkabau Dalam Kehidupan Masyarakat dan Bernegara Sepanjang Masa, makalah simposium 26 April 1991,
Mukhtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau, (Padang, Center of Minangkabau Studies, 1968).
Nasroen, Dasar dan Falsafah Minangkabau, (Jakarta, Bulan Bintang, 1971).
Dt.Rajo Malano, Falsafat Adat Minangkabau, (Padang, Lembaga Studi Minangkabau, 1979).
Taufik Abdullah, Adat, Nasionalisme dan Strategi Kultural Baru, makalah simposium 26 April 1991,


KEPEMIMPINAN DI MINANGKABAU



Nama  : Yon Rizal
Nim     : 509.111


KEPEMIMPINAN DI MINANGKABAU

Penghulu lantai nagari
Cadiak pandai pagaran kokoh
Ali ulama suluah bendang
Bundo kanduang hiasan kampuang

Jika dilihat dari adat minangkabau pemimpin adalah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, supaya jangan terlalu ada jarak dengan pemimpin, maksudnya seorang pemimpin di minangkabau selalu dekat dengan pimpinannya.

Macam-Macam Kepemimpinan

Kepemimpinan penghulu, penghulu di dalam adat minangkabau dalam bahasa sehari-hari disebut dengan “datuak” karena tugasnya yang secara luas, kerjanya bisa juga disebut juga dengan niniak mamak dan segala staf pembantunya disebut pemangku adat. Seorang yang menjadi penghulu itu mestinya dipilih oleh kaum laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan mempunyai akal sehat, sopan santun, ramah tamah dan rendah hati.

1.      Penghulu Adat, Merupakan pimpinan yang paling tinggi dalam sebuah suku, tugasnya seperti petatah ini :

Penghulu lantai nagari
Kamalantai dusun jo taratak
Ka malantai koto jo nagari
Malantai Korong jo kampuang
Malantai sawah jo lading
Melantai surau jo musajik
Malantai labuah jo tapian
Malantai anak jo kamanakan

2.      Manti Adat, Manti mempunyai arti mentri, dalam adat kedudukannya sebagai penghulu dalam bidang pemerintahan adat, fungsinya tergambar pada petatah adat :

Urang nan cadiak candokio
Sarato arih bijaksano
Nan tahu di unak ka manyangkuik
Tahu di rantiang ka mancucuak
Tahu di ombak nan basabuang
Tahu di angin nan baseruik
Tahu di alamaik kato sampai

3.      Malin Adat, Merupakan pembantu adat di bidang agama, tugasnya sbb:

Alim ulama suluah bendang
Nan tahu di hala jo haram
Nan tahu di sah jo bata
Nan tahu syariat jo hakikat
4.      Dubalang Adat, Merupakan pembantu penghulu dalam bidang keagamaan baik dalam kaum, suku, ataupun nagari, tugasnya sbb :

Nan bamato nyalang talingo nyariang
Mamakai usuah jo pareso
Tahu di sumbang jo salah
Parik paga dindiang nan kokoh
Mampang lalu ka subarang
Mandindiang sampai ka langik
Manjago cabuah kok nyo tumbuah
Sia baka maliang jo cilok
Manjago barih kok talampau.

5.      Kepemimpinan mamak, mamak adalah saudara laki-laki dari pihak ibu, semua saudara laki-laki ibu baik adik maupun kakaknya disebut mamak. Tugasnya sbb :

Pucuak paku kacang balimbiang
Ambiak tampuruang lenggang lenggokkan
Bawo manurun ka saruaso
Tanamlah siriah di ureknyo
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggang sarato jo adatnyo.

6.      Tungku Tigo Sajarangan, Kepemimpinan tungku tigo sajarangan itu merupakan kepemimpinan gabungan dari niniak mamak (penghulu, malin, manti, dan dubalang), alim ulama (suluah bendang dalam nagari), dan cadiak pandai (pari kpaga dalam nagari). Ketiganya inilah yang menjadi penyusun tungku tigo sajarangan yang bekerjasama dalam mengahadapi masalah seperti petatah “basilang kayu dalalm tungku, mangkonyo api ka hiduik”.

SEJARAH MINANGKABAU



SEJARAH MINANGKABAU

Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
Maharaja yang Bermahkota  
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut.  Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa.  Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.  Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang. 

Galundi Nan Baselo 
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat.  Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.  Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.  Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”.  Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru.
Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto” (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh. Keturunan “Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.   

Kedatangan Sang Sapurba  
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.  Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo.
Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.  Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.  

Raja yang Hanya Sebagai Lambang  
Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang” tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang.
Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.  Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan. 

Sikati Muno 
Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung Merapi. Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”, keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.  Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru.
Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.   (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)

Kerajaan Minangkabau Baru
Pusat kerajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah bergnati musim adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri.
Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suru Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu. Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak : 
  1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
  2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
  3. Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
  4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
  5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang.
Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo.  Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi.
Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.  Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294.
Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya.  Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Gahah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.  (Sumber : Kerajaan Minangkabau – Jamilus Jamin)      

Asal Usul Kata Minangkabau
Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil sedikit dari gajah.  Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau. Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang. Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka sendiri. Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu itu.
Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya.  Ketika melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu. Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan darah. Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah.
Tetapi dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan Sabatang menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan.  Sejak itu tempat mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang kemenangan.   (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)   

Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan
Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan. 

 

Negeri Sembilan sekarang

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor.  Dalam tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling. Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan.
Hubungan sejarah ini sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas.  Patun mereka berbunyi :  Leguh legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke PadangGenta kerbau berbunyi jugaBiar sepiring dapat pagiWalau sepinggan dapat petangPagaruyung teringat juga Negeri Sembilan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama “Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya. Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang anggotanya yang bernama : “Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri”. Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku Ja’far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau ialah keturunan yang kesebelas dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 – 1795.
Pemerintahan Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama : Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu. 
Kedatangan bangsa Minangkabau 
Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.  

Rombongan Pertama  
Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau. 

Rombongan Kedua  
Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.  

Rombongan Ketiga 
Rombongan ketiga ini datang dari Batu Sangkar juga, keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir. 

Rombongan Keempat 
Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini. Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo Balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek.  Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau.
Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya.  Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang masing-masing adalah sbb; 
  1. Tanah Datar
  2. Batuhampar
  3. Seri Lemak Pahang
  4. Seri Lemak Minangkabau
  5. Mungka
  6. Payakumbuh
  7. Seri Malanggang
  8. Tigo Batu
  9. Biduanda
  10. Tigo Nenek
  11. Anak Aceh
  12. Batu Belang

Raja berasal Minangkabau 
Dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan orang antaranya dikirimkan ke Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam. Tetapi bilamana ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama dikirimkan kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar.  Raja Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat 2 orang anak Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih populer pepatah yang berbunyi : Be raja ke JohorBertali ke SiakBertuan ke Minangkabau Kedatangan beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut yang kalau dimasukkan ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil atau cerana itu. Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan seorang raja baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar dalam tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan dinobatlkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja Malewar yang bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera. Raja Hitam kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku Alang Husin, Tengku Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat dalam tahun 1808 mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah seorang puteranya. Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau dan tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang Delapan di Minangkabau. Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824. Raja Lenggang kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua orang bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika raja Lenggang meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan almarhum ayah beliau. Dan inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yang turun temurun menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam (1861-1869). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan : Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872, Yang Dipertuan Antah 1872-1888, Tuanku Muhammad 1888-1933, Tuanku Abdul Rahman 3/8/1933-1/4/1960, Tuanku Munawir 5/4/1960-14/4/1967, Tuanku Ja’far dinobatkan 18/4/1967.