Nama : Yon Rizal
Nim : 509.111
Tujuh Makam Kenaikan Rohani
A. Taubat
(Al-Taubah)
Yaitu, memohon
ampun disertai janji tidak akan mengulangi lagi.
Al-kalabadzi :
seseorang telah melupakan dosanya, dalam arti ia telah melupakan segala
manisnya dosa sama sekali dalam hatinya. Oleh karena itu orang yang telah
bertaubat, atau tobatnya telah diterima, tidak tertarik lagi kepada dosa yang
pernah dilakukan.[1]
Qs : at taubah,
102
Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa
mereka, yang mencapur adukan perbuatan baik dengan yang buruk. Mudah-mudahan
allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya allah adalah maha pengampun lagi
maha penyayang.
Qs : an nuur, 31
Bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang
beriman, mudah-mudahan kalian tergolong orang yang beruntung.
Sabda nabi
Muhammad saw :
Sesungguhnya hatiku diselubungi oleh dosa, maka aku
mohon ampunan kepada allah tujuh puluh kali setiap hari.
Al qusyairi
berkata : sesungguhnya pemilik ushul dari ahli Sunnah, mereka berkata : syarat
taubat itu ada tiga :
a.
Menyesali
apa yang telah diperbuat dari pelanggaran-pelanggaran
b.
Meninggalkan
perbuatannya seketika itu juga
c.
Berniat
kuat untuk tidak kembali kepada maksiat.
Tiga syarat ini
merupakan kewajiban bagi orang yang bertaubat dengan taubatan nashuha. Taubat
itu memiliki tertib, sebab-sebab, dan bagian-bagian.
a.
Adanya
perhatian dari hati agar tidak lalai dan pengetahuan seorang hamba tentang
keburukan dari keadaan yang dialami. Untuk sampai ke kondisi ini adalah dengan
taufiq, dengan menyimak apa yang terdetik di dalam hatinya tentang apa yang
menjadi kendala terhadap al hak dan harus yakin bahwa allah subhanahu wa ta’ala
mendengar apa yang ada di dalam hatinya. Taubat para sufi benar-benar bersih
sehingga tidak berbekas pada dirinya perbuatan maksiat, baik maksiat tersembunyi
maupun maksiat terang-terangan. Taubat seorang sufi bukan hanya taubat dari
perilaku maksiat, akan tetapi taubat dari keinginan-keinginan hati yang
berdosa, karena menurut mereka hal tersebut merupakan godaan dan was-was setan.
b.
Taubat
karena kelalaian untuk melakukan al-muraqabah (pemantauan) terhadap gerak
hatinya, sehingga ia berniat untuk melakukan apa yang terdapat di dalam hatinya
itu dan beranggapan bahwa perbuatan itu tidak dibenci oleh allah, seperti ujub,
takabur, hasud, mencela. Akan tetapi setelah ia sadar akan kelalaiannya, ia
terkejut dan segera mengosongakan apa yang terdapat di dalam hatinya serta
menyesalinya dan segera melepaskannya.
c.
Perbuatan
hati yang lebih lalai dalam al muraqabah, sehingga dirinya benar-benar berniat
untuk melakukan apa yang dilarang oleh allah, akan tetapi setelah ia sadar akan
niatnya itu, segera menyesali dan meninggalkan apa yang telah kuat menjadi
niatnya itu
d.
Kelalaian
dirinya sehingga hatinya ingin berbuat sesuatu yang dilarang allah , sekalipun
di awal perbuatan itu, atau begitu ia ingin berbuat, ia segera sadar dan segera
berhenti lalu menyesali apa yang telah diperbuat dan segera taubat sebelum ia
melakukan.
e.
Tinggalkan
yang lebih buruk, yaitu ia taubat setelah melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh allah dan tidak mengulanginya.
f.
Kelalaian
sehingga dirinya berbuat perbuatan yang dilarang oleh allah dan selalu berbuat
dosa, seperti seseorang yang mendzalimi orang lain lantas ia ingin taubat,
sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah bertaubat karena berat untuk
meninggalkan perbuatan itu.
B. Wara’
(Al Wara’)
Yitu, meninggalkan
segala yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
Hadis nabi
Muhammad saw :
Sebagian dari tanda kebaikan islam seseorang adalah
meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya, (HR,
at tarmidzi dan ibn majah dengan sanad sahih).
Ibrahim bin
adham berkata : wara itu adalah meninggalkan segala yang subhat, dan
meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu dan itu adalah
meninggalkan al fudhul (kelebihan harta yang halal atau segala yang berlebih
lebihan. Yaitu meninggalkan urusan yang bukan kepentingan agama, meninggalkan
sesuatu yang haram, makruh dan termasuk yang syubhat.
Ungkapan terbaik
tentang wara’ adalah yang dikatakan oleh al haraz yaitu : wara’ adalah bila
mengaku bebas dari pada kedzaliman terhadap makhluk sekalipun seberat atom,
sehingga tidak terdapat pada salah seorang diantara manusia memiliki pengaduan
dan tuntutan atas dirimu.
Menurut al
muhasibi, wara’ akan sempurna apabila terdapat di dalamnya empat perkara, dua
perkara wajib ditinggalkan :
- meninggalkan apa yang dilarang oleh allah ‘azza wa jala, seperti yang terkait dengan hati. Misalnya kasesesatan, bid’ah, kefanatikan (berlebih-lebihan) di dalam ucapan yang tidak mengandung kebenaran dan tidak meyakini kecuali yang hak.
- Wajib meninggalkan apa yang diharamkan kepada hati dan seluruh anggota jasmani.
- Meniggalkan sesuatu yang masih syubhat, kwatir akan jatuh kepada ke haraman
- Meniggalakan kelebihan sekalipun halal (al fadhul, karena kwatir dengannya menjadi perbuatan yang haram.
Dengan demikian
wara’ itu adalah penyucian hati dan raga.
C. Zuhud
(Az Zuhud)
Hadis nabi
muhammad saw :
Jika kalian melihat seseorang diberi kezuhudan di
dunia dan diberi akal, maka dekatilah ia karena ia akan mengajarkan hikmah (HR ibn majah)
Qs : al hadid,
33
Agar kalian tidak merasa susah dengan apa yang hilang
dan juga tidak merasa bangga dengan apa yang datang kepada kalian.
Zunnun al
mishri, zuhud adalah orang yang zuhud jiwanya, karena ia meninggalkan
kenikmatan yang fana untuk mendapatkan kenikmatan yang baqa.
Al junaid, zuhud
adalah kosongnya tangan dari kemilikan dan bersihnya hati daripada keinginan
untuk memiliki sesuatu. Dari maqam taubat menuju ke maqam wara’ kemudian
merambah ke maqam zuhud lantas naik ke maqam sabar, di mana seorang as salik
akan memperoleh ketenangan pada setiap tingkatan maqam yang dilewatinya dengan
memakai pakaian kesabarannya.
D. Sabar
(As Shabru)
Qs : ali imran,
200
Wahai orang orang yang beriman, sabarlah kalian dan
saling bersabarlah.
Qs : An
nahl,126-127
Dan apabila kalian semua bersabar maka itu lebih baik
bagi orang orang yang sabar, dan sabarlah, dan tidaklah kesabaranmu itu kecuali
bersama allah.
Pandangan kaum sufi tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam
memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang bersifat mental dan juga bersifat
akal. Sabar merupakan sikap utama adalah kehidupan akhlak dan akan memberikan
keutamaan dalam segala bidang kehidupan, sabar dalam ibadah, sabar dalam
menuntut ilmu, sabar dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi sesama manusia,
sabar dalam kondisi kesehatan, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci, sabar
dalam kenikmatan dan penderitaan.
Menurut al
kharraz : sabar adalah sebuah isim yang memiliki makna makna lahir dan batin.
1.
Sabar
dalam melaksanakan perintah perintah allah dalam segala kondisi.
2.
Sabar
dalam menjauhi segala larangan allah dan mencegah terhadap apa yang menjadi
kecendrungan jiwanya yang tidak diridhai oleh allah.
3.
Sabar
untuk melakukan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang mengandung kebaikan.
4.
Sabar
batin, sabar untuk menerima kebenaran yang datang dari siapapun yang mengajakmu
untuk kebaikan, lantas ia menerimanya.
Qs : al anfal,
65
Jika ada dua puluh yang sabar diantara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada dua ratus orang
yang sabar diantara kamu akan mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir.
E. Tawakal
(At Tawakal)
Siakp tawakal
akan memberikan ketenangan bagi seorang mu’min dan akan memberikan sikap stabil
dan ketenangan jiwa. Tawakal adalah perasaan dari seorang mu’min dalam
memandang alam, bahwa apa yang terdapat di dalamnya tidak akan luput dari
tangan allah. Sesungguhnya tidak perlu kwatir dan mengundang keguncangan jiwa
bagi seorang muslim di dalam menghadapi persoalan yang berada di luar kehendak
dan kemampuan kita.
Qs : ath thalaq,
3
Dan barang siapa yang tawakal kepada allah, maka allah
akan mencukupinya.
Dr. gakfar,
sesungguhnya pengalaman dan aliran at tustari, terdapat tiga tingkatan tawakal
- Tidak terdapat pertentangan antara ketaqwaan manusia dan tawakalnya kepada allah denganpekerjaan yang dikerjakan berupa pekerjaan yang positif.
- Tawakal dengan meninggalkan sebab sebab dan ia selalu dekat dengan allah, serta tidak pernah mengaharap kepada selain Nya.
- Pemusatan seseorang sufi kepada rabbnya
F. Ridha
(Ar Ridha)
Ridha adalah tidak berusaha menentang qada
Allah.
Al hujuwairi, ridha itu ada dua bagian
- Ridha allah kepada hambanya
- Ridha hamba kepada rabbnya dan ia menyucikan Nya
Hakiakt ridha allah adalah kehendak allah
untuk memberikan pahala, kenikmatan dan
kemulian kepada seorang hamba. Ridha hamba adalah ridha melakukan segala
perintahnya dan tunduk terhadap semua hukum allah.
Orang orang yang mempunyai sifat ridaha
terbagi empat bagian :
- Orang yang ridha terhadap pemberian allah dan ini merupakan ma’rifat
- Orang yang ridha sebagai orang yang memiliki nikmat, keduniaan
- Orang yang ridha dengan ujian (al bala’)
- Orang yang ridha sebagai orang yang terpilih dan itu adalah cinta (muhabbah)
G. Syukur
(Asy Syukur)
Qs : ibrahim, 7
Jika
kalian semua bersyukur, niscaya aku akan menambah nikmat kepada kalian.
Hakikat syukur bagi ahli tahqiq adalah
mengakui nikmat yang diberikan oleh allah secara tawadu’.
Al kharraz, syukur itu terbagi menjadi tiga
bagian
- Syukur dengan hati, mengetahui bahwa nikmat itu berasal dari allah, bukan dari selain Nya
- Syukur dengan lisan, dengan mengucapkan puji syukur
- Syukur dengan jasmani, mempergunakan jasmaniah tidak kepada kemaksiatan
H. Cinta
(Al Muhabbah)
At tustari, mentakbirkan yang benar, ketika
ia mengatakan ; sesungguhnya cinta itu adalah sikap kesetujuan hati kepada
allah tetap di atas kesetujuan itu, dan mengikuti nabinya, serta langgeng dalam
dzikir dan merasakan munajat bersama Nya. Dalam permasalahan cinta ini, banyak
terdapat teks teks penuh dengan perasaan perasaan yang bersandar atas pemikiran
makhluk dan prinsip perjanjian.
At tustari mengatakan “ apa yang kami
miliki pasti dari Mu, dan engkaulah zat memberi kepada kami, kepada jiwa-jiwa
kami, begitu juga ruh yang kami miliki adalah dari Mu, dunia yang kami miliki
juga berasal dari Mu dan tak luput bahwa akhirat nantinya dari Mu.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar