Minggu, 16 Maret 2014

Tujuh Makam Kenaikan Rohani



Nama  : Yon Rizal
Nim     : 509.111

Tujuh Makam Kenaikan Rohani
A.    Taubat (Al-Taubah)

Yaitu, memohon ampun disertai janji tidak akan mengulangi lagi.
Al-kalabadzi : seseorang telah melupakan dosanya, dalam arti ia telah melupakan segala manisnya dosa sama sekali dalam hatinya. Oleh karena itu orang yang telah bertaubat, atau tobatnya telah diterima, tidak tertarik lagi kepada dosa yang pernah dilakukan.[1]

Qs : at taubah, 102
Dan ada pula orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, yang mencapur adukan perbuatan baik dengan yang buruk. Mudah-mudahan allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang.

Qs : an nuur, 31
Bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian tergolong orang yang beruntung.
Sabda nabi Muhammad saw :
Sesungguhnya hatiku diselubungi oleh dosa, maka aku mohon ampunan kepada allah tujuh puluh kali setiap hari.
Al qusyairi berkata : sesungguhnya pemilik ushul dari ahli Sunnah, mereka berkata : syarat taubat itu ada tiga :
a.       Menyesali apa yang telah diperbuat dari pelanggaran-pelanggaran
b.      Meninggalkan perbuatannya seketika itu juga
c.       Berniat kuat untuk tidak kembali kepada maksiat.
Tiga syarat ini merupakan kewajiban bagi orang yang bertaubat dengan taubatan nashuha. Taubat itu memiliki tertib, sebab-sebab, dan bagian-bagian.
a.       Adanya perhatian dari hati agar tidak lalai dan pengetahuan seorang hamba tentang keburukan dari keadaan yang dialami. Untuk sampai ke kondisi ini adalah dengan taufiq, dengan menyimak apa yang terdetik di dalam hatinya tentang apa yang menjadi kendala terhadap al hak dan harus yakin bahwa allah subhanahu wa ta’ala mendengar apa yang ada di dalam hatinya. Taubat para sufi benar-benar bersih sehingga tidak berbekas pada dirinya perbuatan maksiat, baik maksiat tersembunyi maupun maksiat terang-terangan. Taubat seorang sufi bukan hanya taubat dari perilaku maksiat, akan tetapi taubat dari keinginan-keinginan hati yang berdosa, karena menurut mereka hal tersebut merupakan godaan dan was-was setan.
b.      Taubat karena kelalaian untuk melakukan al-muraqabah (pemantauan) terhadap gerak hatinya, sehingga ia berniat untuk melakukan apa yang terdapat di dalam hatinya itu dan beranggapan bahwa perbuatan itu tidak dibenci oleh allah, seperti ujub, takabur, hasud, mencela. Akan tetapi setelah ia sadar akan kelalaiannya, ia terkejut dan segera mengosongakan apa yang terdapat di dalam hatinya serta menyesalinya dan segera melepaskannya.
c.       Perbuatan hati yang lebih lalai dalam al muraqabah, sehingga dirinya benar-benar berniat untuk melakukan apa yang dilarang oleh allah, akan tetapi setelah ia sadar akan niatnya itu, segera menyesali dan meninggalkan apa yang telah kuat menjadi niatnya itu
d.      Kelalaian dirinya sehingga hatinya ingin berbuat sesuatu yang dilarang allah , sekalipun di awal perbuatan itu, atau begitu ia ingin berbuat, ia segera sadar dan segera berhenti lalu menyesali apa yang telah diperbuat dan segera taubat sebelum ia melakukan.
e.       Tinggalkan yang lebih buruk, yaitu ia taubat setelah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh allah dan tidak mengulanginya.
f.       Kelalaian sehingga dirinya berbuat perbuatan yang dilarang oleh allah dan selalu berbuat dosa, seperti seseorang yang mendzalimi orang lain lantas ia ingin taubat, sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah bertaubat karena berat untuk meninggalkan perbuatan itu.

B.     Wara’ (Al Wara’)

Yitu, meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).

Hadis nabi Muhammad saw :
Sebagian dari tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya, (HR, at tarmidzi dan ibn majah dengan sanad sahih).

Ibrahim bin adham berkata : wara itu adalah meninggalkan segala yang subhat, dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu dan itu adalah meninggalkan al fudhul (kelebihan harta yang halal atau segala yang berlebih lebihan. Yaitu meninggalkan urusan yang bukan kepentingan agama, meninggalkan sesuatu yang haram, makruh dan termasuk yang syubhat.
Ungkapan terbaik tentang wara’ adalah yang dikatakan oleh al haraz yaitu : wara’ adalah bila mengaku bebas dari pada kedzaliman terhadap makhluk sekalipun seberat atom, sehingga tidak terdapat pada salah seorang diantara manusia memiliki pengaduan dan tuntutan atas dirimu.
Menurut al muhasibi, wara’ akan sempurna apabila terdapat di dalamnya empat perkara, dua perkara wajib ditinggalkan  :
  1. meninggalkan apa yang dilarang oleh allah ‘azza wa jala, seperti yang terkait dengan hati. Misalnya kasesesatan, bid’ah, kefanatikan (berlebih-lebihan) di dalam ucapan yang tidak mengandung kebenaran dan tidak meyakini kecuali yang hak.
  2. Wajib meninggalkan apa yang diharamkan kepada hati dan seluruh anggota jasmani.
  3. Meniggalkan sesuatu yang masih syubhat, kwatir akan jatuh kepada ke haraman
  4. Meniggalakan kelebihan sekalipun halal (al fadhul, karena kwatir dengannya menjadi perbuatan yang haram.
Dengan demikian wara’ itu adalah penyucian hati dan raga.


C.    Zuhud (Az Zuhud)

Hadis nabi muhammad saw :
Jika kalian melihat seseorang diberi kezuhudan di dunia dan diberi akal, maka dekatilah ia karena ia akan mengajarkan hikmah (HR ibn majah)

Qs : al hadid, 33
Agar kalian tidak merasa susah dengan apa yang hilang dan juga tidak merasa bangga dengan apa yang datang kepada kalian.

Zunnun al mishri, zuhud adalah orang yang zuhud jiwanya, karena ia meninggalkan kenikmatan yang fana untuk mendapatkan kenikmatan yang baqa.
Al junaid, zuhud adalah kosongnya tangan dari kemilikan dan bersihnya hati daripada keinginan untuk memiliki sesuatu. Dari maqam taubat menuju ke maqam wara’ kemudian merambah ke maqam zuhud lantas naik ke maqam sabar, di mana seorang as salik akan memperoleh ketenangan pada setiap tingkatan maqam yang dilewatinya dengan memakai pakaian kesabarannya.

D.    Sabar (As Shabru)

Qs : ali imran, 200
Wahai orang orang yang beriman, sabarlah kalian dan saling bersabarlah.

Qs : An nahl,126-127
Dan apabila kalian semua bersabar maka itu lebih baik bagi orang orang yang sabar, dan sabarlah, dan tidaklah kesabaranmu itu kecuali bersama allah.

Pandangan kaum sufi tentang sabar merupakan sisi yang penting dalam memperbaiki kendala kejiwaan, dan sabar pada hakikatnya merupakan sikap berani dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang bersifat mental dan juga bersifat akal. Sabar merupakan sikap utama adalah kehidupan akhlak dan akan memberikan keutamaan dalam segala bidang kehidupan, sabar dalam ibadah, sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam pekerjaan, sabar dalam komunikasi sesama manusia, sabar dalam kondisi kesehatan, sabar dalam cinta, sabar ketika membenci, sabar dalam kenikmatan dan penderitaan.
Menurut al kharraz : sabar adalah sebuah isim yang memiliki makna makna lahir dan batin.
1.      Sabar dalam melaksanakan perintah perintah allah dalam segala kondisi.
2.      Sabar dalam menjauhi segala larangan allah dan mencegah terhadap apa yang menjadi kecendrungan jiwanya yang tidak diridhai oleh allah.
3.      Sabar untuk melakukan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang mengandung kebaikan.
4.      Sabar batin, sabar untuk menerima kebenaran yang datang dari siapapun yang mengajakmu untuk kebaikan, lantas ia menerimanya.


Qs : al anfal, 65
Jika ada dua puluh yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada dua ratus orang yang sabar diantara kamu akan mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir.

E.     Tawakal (At Tawakal)

Siakp tawakal akan memberikan ketenangan bagi seorang mu’min dan akan memberikan sikap stabil dan ketenangan jiwa. Tawakal adalah perasaan dari seorang mu’min dalam memandang alam, bahwa apa yang terdapat di dalamnya tidak akan luput dari tangan allah. Sesungguhnya tidak perlu kwatir dan mengundang keguncangan jiwa bagi seorang muslim di dalam menghadapi persoalan yang berada di luar kehendak dan kemampuan kita.

Qs : ath thalaq, 3
Dan barang siapa yang tawakal kepada allah, maka allah akan mencukupinya.

Dr. gakfar, sesungguhnya pengalaman dan aliran at tustari, terdapat tiga tingkatan tawakal
  1. Tidak terdapat pertentangan antara ketaqwaan manusia dan tawakalnya kepada allah denganpekerjaan yang dikerjakan berupa pekerjaan yang positif.
  2. Tawakal dengan meninggalkan sebab sebab dan ia selalu dekat dengan allah, serta tidak pernah mengaharap kepada selain Nya.
  3. Pemusatan seseorang sufi kepada rabbnya

F.     Ridha (Ar Ridha)

Ridha adalah tidak berusaha menentang qada Allah.
Al hujuwairi,  ridha itu ada dua bagian
  1. Ridha allah kepada hambanya
  2. Ridha hamba kepada rabbnya dan ia menyucikan Nya
Hakiakt ridha allah adalah kehendak allah untuk  memberikan pahala, kenikmatan dan kemulian kepada seorang hamba. Ridha hamba adalah ridha melakukan segala perintahnya dan tunduk terhadap semua hukum allah.

Orang orang yang mempunyai sifat ridaha terbagi empat bagian :
  1. Orang yang ridha terhadap pemberian allah dan ini merupakan ma’rifat
  2. Orang yang ridha sebagai orang yang memiliki nikmat, keduniaan
  3. Orang yang ridha dengan ujian (al bala’)
  4. Orang yang ridha sebagai orang yang terpilih dan itu adalah cinta (muhabbah)

G.    Syukur (Asy Syukur)

Qs : ibrahim, 7
Jika kalian semua bersyukur, niscaya aku akan menambah nikmat kepada kalian.
Hakikat syukur bagi ahli tahqiq adalah mengakui nikmat yang diberikan oleh allah secara tawadu’.
Al kharraz, syukur itu terbagi menjadi tiga bagian
  1. Syukur dengan hati, mengetahui bahwa nikmat itu berasal dari allah, bukan dari selain Nya
  2. Syukur dengan lisan, dengan mengucapkan puji syukur
  3. Syukur dengan jasmani, mempergunakan jasmaniah tidak kepada kemaksiatan

H.    Cinta (Al Muhabbah)

At tustari, mentakbirkan yang benar, ketika ia mengatakan ; sesungguhnya cinta itu adalah sikap kesetujuan hati kepada allah tetap di atas kesetujuan itu, dan mengikuti nabinya, serta langgeng dalam dzikir dan merasakan munajat bersama Nya. Dalam permasalahan cinta ini, banyak terdapat teks teks penuh dengan perasaan perasaan yang bersandar atas pemikiran makhluk dan prinsip perjanjian.
At tustari mengatakan “ apa yang kami miliki pasti dari Mu, dan engkaulah zat memberi kepada kami, kepada jiwa-jiwa kami, begitu juga ruh yang kami miliki adalah dari Mu, dunia yang kami miliki juga berasal dari Mu dan tak luput bahwa akhirat nantinya dari Mu.[2]


[1] Kartanegara, mulyadhi. Menyelami lubuk tasawuf. Hal, 185
[2] Najar, amiran. Ilmu jiwa dalam tasawuf. hal, 228

Tidak ada komentar: