Konsepsi Adat Minang Kabau
A. Pengertian Adat Minangkabau
Setiap suku bangsa
atau bangsa, sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka
struktur masyarakatnya (modern) umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri,yang
berbeda satu sama lainnya.Pandangan hidup suatu suku bangsa atau bangsa ialah
perpaduan dari nilai-nilai yang dimiliki oleh suku bangsa atau bangsa itu
sendiri, yang mereka yakini kebenarannya, dan menimbulkan tekad pada suku
bangsa atau bangsa itu untuk mewujudkannya. Suku bangsa Minangkabau (orang
inang), yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa
Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup
suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan
adat, yang disebut dengan ADAT MINANGKABAU.
Dapat diakatakan
bahwa Adat Minang adalah merupakan falsafah kehidupan yang menjadi budaya
atau kebudayaan Minang. Ia merupakan suatu aturan atau tata cara kehidupan
masyarakat Minang yang disusun berdasarkan musyawarah dan mufakat dan
diturunkan secara turun temurun secara alamiah.
Pengertian adat
dalam kehidupan sehari-hari orang Minang memberikan makna sebagai Sawah diagiah
bapamatang, ladang diagiah bamintalak, Nak babedo tapuang jo sadah, Nak babikeh
minyak jo aia, Nak balain kundua jolabu.Ungkapan petatah petitih ini merupakan
kaidah sosial yang mengatur tata nilai dan struktur masyarakat, yang membedakan
secara tajam antara manusia yang berbudaya dengan binatang dalam tingkah laku
dan perbuatannya. Demikian adat Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan
mulai dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih
luas, misalnya; kehidupan politik, ekonomi, hukum, dsb.
B.Dasar Filsafat
Adat Minangkabau
Dalam adat
Minangkabau terdapat beberapa ketentuan yang memberikan ciri khas kepada adat
Minang sebagai falsafah dan pandangan hidup. Ketentuan itu adalah fatwa-fatwa
adat Minang berdasarkan ketentuan alam nyata. Dengan demikian maka adat
Minangkabau itupun dengan sendirinya mempunyai dasar falsafah yang nyata pula.
Pertumbuhan dan
perkembangan adat Minang semenjak dahulu kala secara garis besarnya terbagi
atas dua priode; yaitu priode sebelum Islam datang dan priode setelah Islam
datang. Sebelum Islam dianut oleh masyarakat Minang tata nilai kehidupan
masyarakat Minang umumnya dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buda. Sebelum
tahun 914 Masehi di Minangkabau terdapat kebudayaan Hindu, dan sebagai bukti
sejarah, ditemukannya Candi Muara Takus. Namun kebudayaan Hindu ini tidak mempunyai
bekas dalam kebudayaan Minang, dan ketentuan adatnya hanya didasarkan pada
kaidah-kaidah alam yang diformulasikan oleh pikiran manusia sesuai dengan
keinginannya, sehingga bisa terjadi prilaku atau perbuatan tidak terpuji tetapi
dibenarkan oleh adat.
Ketentuan-ketentuan
ini digambarkan dalam berbagai bentuk dan corak yang merupakan pernyataan
langsung dari ketentuan-ketentuan itu berupa petatah petitih, pantun, gurindam
dsb. Umumnya mengandung anjuran dan aturan dalam bertingkah laku berdasarkan
ketentuan alam secara langsung dengan perumpamaan. Inilah yang dimaksud oleh
petatah petitih adat yang berbunyi “Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang
lintabuang, silodang ambiak kanyiru. Nan satitik jadikan lauik, nan sakapa
jadikan gunuang, alam takambang jadi guru” .
Jadi sebelum agama
Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minang telah menjadikan
sunnatullah yang terdapat dalam alam ini sebagai dasar adat Minangkabau. Apa
yang terjadi di alam dijadikan sebagai guru atau i’tibar bagi kehidupan Alam
yang terkembang di hadapan kita sebagai makhluk Allah adalah flora, fauna dan
benda alam lainnya. Pada alam ini berlaku hokum alam (sunnatullah) Berdasarkan
hukum alam ini dibuatlah ketentuan adapt berupa petatah petitih, misalnya : api
panas dan membakar, air membasahi dan menyuburkan, kayu berpokok, berdahan,
berdaun, berbunga dan berbuah, lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok,
kambing mengembek, harimau mengaum dsb.
Jadi pada dasarnya
pada priode ini adat Minang telah mendasarkan ajarannya kepada sunnatullah
(hukum alam) sebagai guru dan i’tibar. Pada taraf ini adat hanya
bersendikan alur dan patut. Setelah Islam datang ke Minangkabau Sampai dengan
masa pemerintahan Adityawarman (1347-1376), kerajaan Pagaruyung (Minangkabau)
masih menganut agama Budha. Barulah pada masa anaknya Ananggawarman yang
bergelar Raja Alif, Minangkabau telah menjadi Islam.
Secara
berangsur-angsur tatanilai kehidupan masyarakat Minang berubah dan dipengaruhi
oleh ajaran Islam. Semenjak itu ada yang rumusannya tidak lagi didasarkan pada
musyawarah dan mufakat, akan tetapi berdasarkan ketetapan dan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-nya. Namun yang harus difahamni adalah
bahwa ketika Islam datang ke Minangkabau bukan tidak terjadi konflik antara
adat dan Islam, akan tetapi konflik itu akhirnya menyatu menjadi integrasi
antara adat dan Islam.
Tahapan-tahapan yang
dilalui sampai mengambil bentuk integrasi itu adalah sbb :
Tahap pertama adalah
tahap adat basandi alua jo patuik dan syarak basandi dalil. Dalam tahap ini
adat dan syarak jalan sendiri-sendiri dalam batas-batas yang tidak saling
mempengaruhi. Masyarakat Minang mengamalkan agamanya dalam bidang akidah dan
ibadah, sedangkan bidang sosial mereka memberlakukan adapt.
Tahap kedua adalah
adat basandi syarak dan syarak basandi adat. Dalam tahap ini salah satunya
menuntut hak mereka kepada pihak lain sehingga keduanya sama-sama dibutuhkan
tanpa ada yang tergeser. Pada tahap ini terjadi adat dan syarak saling
membutuhkan dan tidak bisa dipisahkan. Hubungan kekerabatan di Minang mulai
diperluas melalui sistim bako anak pisang.
Tahap ketiga adalah
tahap adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah, syarak mangato adat
mamakai. Pada tahap ini antara adat dan syarak telah terintegrasi. Ini berawal
dari kesepakatan yang dibuat di Bukit Marapalam.
Berdasarkan
penjelasan tersebut sesungguhnya dapat dijelaskan tiga bentuk derajat falsafah
adat Minangkabau..
1.
Bentuk yang berdasarkan agama, yang merupakan derajat
tertinggi karena didasarkan pada firman Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
1.
Bentuk yang berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan
terdapat dalam alam nyata yang dinyatakan dalam bentuk hukum alam atau
sunnatullah.
1.
Corak dan derajat terendah adalah timbul dari buah
fikiran manusia,seperti filosuf
Jadi dasar falsafah
adat Minangkabau itu bertumpu pada ketetapanketetapan Allah dan Rasulnya, yang
tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya, termasuk yang dapat dicermati
dari ayat-ayat Kauniah yang berupa Sunnatullah (hukum alam). Sedangkan
pemikiran para filosof Minang sendiri menempati posisi yang paling rendah dari
dasar falsafat adat Minang tersebut.
C. Tingkatan Adat
Minangkabau
Dari proses
pertumbuhan dan perkembangannya adat Minang sampai dewasa ini, seperti yang
telah disinggung di atas terdapat empat jenis adat, yaitu:
1.
Adat istiadat
1.
Adat nan teradat
1.
Adat nan diadatkan
1.
Adat nan Sabana adat.
Adat jenis 1 dan 2
diformulasikan melalui musyawarah mufakat dari suatu kelompok (nagari)
masyarakat sesuai dengan kondisi dan priode waktu tertentu. Karenanya kedua
jenis adat ini dapat berubah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Jenis adat 3
adalah diformulasikan dengan kesepakatan berdua oleh Dt.Perpatih nan Sabatang
dan Dt.Ketumanggungan. Dt.Perpatih Nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan adalah
dua orang pemikir dan peletak dasar adat Minangkabau. Merekalah yang membuat
patokanpatokan yang akan diberlakukan bagi anak keturunannya, yaitu masyarakat
Minangkabau.
Patokan-patokan yang
telah mereka buat itu kemudian terlestarikan dalam bentuk TAMBO ADAT
MINANGKABAU. Tambo adalah teks yang menjelaskan penghadapan Minangkabau dengan
dinamika sejarahnya, bagaimana perubahan bisa diterangkan dan bagaimana pula
realitas sekitar harus difahami. Dengan demikian Tambo bukan saja merupakan
pertanggungan jawab kultural, tetapi juga landasan tradisi. Tambo memberikan
patokanpatokan rasionalitas tentang hal-hal yang menguntungkan, dan landasan
normatif tentang hal-hal yang menyenangkan. Dengan kata lain Tambo dapat
dilihat sebagai Weltanschaung dan sekaligus ethos Minangkabau.12 berdasarkan
ketentuan dan sifat alam yang berkembang, dihimpun dalam bentuk petatah petitih
Minang, dan sifatnya tetap dan tidak berubah dan sesuai sepanjang masa.
Sedangkan adat jenis
ke 4 ialah aturan atau ketentuan kehidupan yang terjadi menurut sifatnya
berdasarkan ketentuan alam ciptaan Tuhan dan juga berdasarkan ketetapan
ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu adat ini juga bersifat
kekal. Hal ini terungkap dalam ungkapan :
Bamain api tabaka
Bamain aia basah
Bulek aia dek
pambuluh
Bulek kato dek
mufakat dsb
Dari penjelasan di
atas tampak bahwa ketentuan adat yang disusun dari ketentuan alam, baik sifat
atau hukumnya yang bersifat logik dan benar, tidak bisa dibantah kebenarannya.
Kebenaran yang tidak bisa dibantah inilah yang terdapat pada adat jenis 3 dan
4, yang disebut dalam petatah petitih : Adat nan indak lakang dek paneh, indak
lapuk dek hujan, dibasuh bahabih aia, dikikih bahabih basi, dianjak tak layua,
dibubuik tak mati.
Bermain api terbakar
– karena sifat api itu memang membakar, bermain air itu basah, karena sifat air
itu basah dan membasahi. Bulat air karena pipa, karena sifat air mengikuti
tempatnya. Bulat kata adalah karena mufakat.
Adat yang tidak
lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan, jika dibasuh menghabiskan air,
jika dikikis menghabiskan besi, jika dipindah ia tidak akan layu, dan
jika dicabutpun ia tak akan mati.
D.Sifat Adat
Minangkabau
Sifat adat Minang,
sebagai akibat logis dari jenis adat di atas maka dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu yang lestari dan yang berubah Selagi orang Minang taat memeluk agama
Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT maka nilai-nilai yang
terkandung di dalam ketentuan adat nan sabana adapt akan lestari sepanjang
masa. Seseorang yang mengaku orang Minang akan/harus mematuhi
ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut.
Demikian juga
struktur masyarakat Minang yang tersusun menurut garis ibu dimana pewarisan
sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang mereka Dt.Perpatiah
nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan, akan tetap menurut garis ibu. Seseorang
hanya berhak mewarisi sako (penghulu adat) kalau lai tumbuh dibukunyo, artinya
yang bersangkutan jelas silsilah atau ranjinya menurut keturunan garis ibu yang
ikatannya adalah batali darah, yang dikenal dengan ungkapan :
·
Biriak biriak turun kasasak
·
Tibo disasak makan-makan
·
Dari niniak turun ka mamak
·
Dari mamak turun ka kamanakan.
Begitu juga
pewarisan pusako (harta pusaka) pada dasarnya tetap melalui garis keturunan
ibu. Kedua contoh ketentuan adat tadi tidak akan mengalami perubahan, dan
bersifat sangat prinsip dalam struktur masyarakat dan adat Minang. Tentu saja
tidak seluruh jenis adat bersifat tetap, nan tak lakang dek paneh dan tak lapuk
dek hujan. Jenis adat nan teradat dan adat istiadat dapat saja berubah sesuai
dengan keadaan lingkungan dan kemajuan zaman. Ketentuan ini diungkapkan dalam
petatah petitih :
·
Sakali aia gadang
·
Sakali tapian baranjak
·
Walaupun barubah disitu situ juo
·
Sakali gadang batuka
·
Sakali peraturan barubah
·
Namun adat baitu juo.
Artinya : Sekali air
besar/bah, maka tepian mandi ikut berubah, walaupun berubah, perubahannnya
hanya di sekitar tempat itu juga. Jika terjadi perubahan keadaan dan
lingkungan, maka peraturannyapun ikut berubah, tidak terkecuali adat Minang.
Jadi pada umumnya adat Minang itu bersifat terbuka hal ini sejalan dengan
ungkapan yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
·
Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang
·
Dimano ranting dipatah, disinan aia disauk
·
Masuk kandang kambiang mangembek
·
Masuk kandang kabau malanguah.
·
Tibo di rantau induak samang dan dunsanak cari
dahulu
Dengan demikian
ketika kita hendak mencoba memahami adat Minang, yang perlu untuk kita ketahui
adalah nan ampek (yang empat) Yang dimaksud dengan yang empat itu adalah, bahwa
patokan-patokan hidup itu didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang disederhanakan
dalam bentuk pasangan-pasangan aturan itu didasarkan atas empat patokan.
Nan ampek itu ialah
:
1.
Asal suku di Minangkabau adalah ampek; Bodi, Caniago,
Koto dan Pilang.
1.
Mula-mula adat diciptakan oleh nenek moyang kita
adalah; adapt
1.
bajanjang naik batanggo turun,adat babarih babalabeh,
adat baukua jo
1.
bajangko, adat batiru bataladan.
1.
Jalan yang harus dilalui dalam hidup ini ada empat;
jalan mandata, jalan
1.
mandaki, jalan melereng dan jalan manurun
1.
Ajaran adat ada empat; raso, pareso, malu dan sopan.
1.
Dasar nagari ada empat; taratak, dusun, koto dan
nagari.
1.
Kato-kato ada empat; kato pusako, kato mufakat, kato
kamudian dan kato dulu.
1.
Hukum ada empat; hukum ilmu, hukum kurenah, hukum
sumpah dan hukum perdamaian.
Itulah beberapa
penjelasan singkat di seputar Konsepsi Adat Minang.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin,
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta,
Gunung Agung 1984).
Jurnalis Kamil
Dt.Toenaro nan Bapandiang Ameh, Adat Minangkabau Dalam Kehidupan Masyarakat dan
Bernegara Sepanjang Masa, makalah simposium 26 April 1991,
Mukhtar Naim,
Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di Minangkabau, (Padang, Center of
Minangkabau Studies, 1968).
Nasroen, Dasar dan
Falsafah Minangkabau, (Jakarta, Bulan Bintang, 1971).
Dt.Rajo Malano,
Falsafat Adat Minangkabau, (Padang, Lembaga Studi Minangkabau, 1979).
Taufik Abdullah,
Adat, Nasionalisme dan Strategi Kultural Baru, makalah simposium 26 April 1991,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar