Nama : Yon Rizal
Nim : 509.111
Pengalaman Kejiwaan Dalam Tasawuf
1.
Pengalaman menyatu
Fana dan baqa
adalah dua sisi dari pengalaman yang sama. Dilihat dari satu sudut, ia
merupakan penyangkalan dari mistik, yaitu: penyangkalan atas kehendaknya, sifat-sifat
dirinya, dan keperiadaannya. Dilihat dari sudut lain, ia merupakan upaya
mendekatkan diri pada Nya, yaitu: menyatu dengan kehendak Nya, menyerap
sifat-sifat Nya, dan akhirnya dengan keperiadaannya. Pada aspek yang pertama,
para sufi merajuk kepada pengertian seperti ketiadaan (fana’), peniadaan
(mahw), pelarutan (idmihlal), dan ketidaksadaran (ghaibah). Pada aspek ke dua,
mereka menyebut pertemuan (wishal), bersatu (jamak), penyatuan (ittihat),
kesatuan (tauhid) dan identitas (ainiyyah), yang semuanya tergantung pada
derajat pencapaian, penyangkalan diri dan penyatuan.
Ada dua
tingakat penyatuan yang bisa dibedakan, yaitu merasa bersatu dengan tuhan,
tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan, inilah yang disebut
tingakatan bersatu (maqam i jam). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari
ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat
yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kesatuan mutlak
(jam’al jam’, secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).
2.
Pangalaman (untuk) berbeda
Keyakinan umum
tentang pengalaman menyatu adalah pengalaman puncak dari sufi, dan titik
tertinggi dari pencapaiannya. Sebagai akibatnya, pergerakkan dari kesatuan yang
tiada beda kepada kesadaran (akan) perbedaannya dengan tuhan dianggap sebagai
“turun”, satu selang dengan titik perbedaan, sebagai turunan di punggung bukit
yang harus dilewati sesudah mencapai bagian puncak.
Beberapa faktor
yang mempengaruhi keyakinan ini, yaitu penyataan kaum sufi yang mengagungkan
kebersatuan, karakterisasi dari kesadaran akan perbedaan sesudah mencapai tahap
penyatuan dan menganggapnya sebagai kembali (rujuk) dan turun (nuzul),
mempertimbangakan metafisikal tentang posisi penyatuan sebagai sumber dari
seluruh pluralitas, dokrin wahdat al wujud yang menopangnya serta didukung pula
oleh pengalaman menyatu tersebut, serta klaim dari para mistukus dari kalangan
lain yang menganggap penyatuan absolut tersebut sebagai kebenaran tertinggi.
Pengalaman ketiadabedaan, bagaimanapun bukanlah pengalaman sufi yang tertinggi.
Masih ada pengalaman perbedaan yang kedua, yaitu pemisahan sesudah menyatu (
farq ba’dal jam).[1]
[1] Muhammad
Abdul Haq Ansari. 1993. Antara Sufisme
Dan Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 46-48
3 komentar:
thanks, ngebantu bgt. anak ib ya?
thx min, ngebantu bgt
maaf baru sempat ditanggapi sekarang... ya saya IB ... senang bisa membantu, blog ini boleh di share ke siapa saja yang kira kira bisa memberi manfaat. Salam pencinta Ilmu
Posting Komentar