Minggu, 16 Maret 2014

Pengalaman Kejiwaan Dalam Tasawuf



Nama  : Yon Rizal
Nim     : 509.111

Pengalaman Kejiwaan Dalam Tasawuf
1.      Pengalaman menyatu

Fana dan baqa adalah dua sisi dari pengalaman yang sama. Dilihat dari satu sudut, ia merupakan penyangkalan dari mistik, yaitu: penyangkalan atas kehendaknya, sifat-sifat dirinya, dan keperiadaannya. Dilihat dari sudut lain, ia merupakan upaya mendekatkan diri pada Nya, yaitu: menyatu dengan kehendak Nya, menyerap sifat-sifat Nya, dan akhirnya dengan keperiadaannya. Pada aspek yang pertama, para sufi merajuk kepada pengertian seperti ketiadaan (fana’), peniadaan (mahw), pelarutan (idmihlal), dan ketidaksadaran (ghaibah). Pada aspek ke dua, mereka menyebut pertemuan (wishal), bersatu (jamak), penyatuan (ittihat), kesatuan (tauhid) dan identitas (ainiyyah), yang semuanya tergantung pada derajat pencapaian, penyangkalan diri dan penyatuan.
Ada dua tingakat penyatuan yang bisa dibedakan, yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan, inilah yang disebut tingakatan bersatu (maqam i jam). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum sufi memandangnya sebagai tingkat kesatuan mutlak (jam’al jam’, secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).

2.      Pangalaman (untuk) berbeda

Keyakinan umum tentang pengalaman menyatu adalah pengalaman puncak dari sufi, dan titik tertinggi dari pencapaiannya. Sebagai akibatnya, pergerakkan dari kesatuan yang tiada beda kepada kesadaran (akan) perbedaannya dengan tuhan dianggap sebagai “turun”, satu selang dengan titik perbedaan, sebagai turunan di punggung bukit yang harus dilewati sesudah mencapai bagian puncak.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keyakinan ini, yaitu penyataan kaum sufi yang mengagungkan kebersatuan, karakterisasi dari kesadaran akan perbedaan sesudah mencapai tahap penyatuan dan menganggapnya sebagai kembali (rujuk) dan turun (nuzul), mempertimbangakan metafisikal tentang posisi penyatuan sebagai sumber dari seluruh pluralitas, dokrin wahdat al wujud yang menopangnya serta didukung pula oleh pengalaman menyatu tersebut, serta klaim dari para mistukus dari kalangan lain yang menganggap penyatuan absolut tersebut sebagai kebenaran tertinggi. Pengalaman ketiadabedaan, bagaimanapun bukanlah pengalaman sufi yang tertinggi. Masih ada pengalaman perbedaan yang kedua, yaitu pemisahan sesudah menyatu ( farq ba’dal jam).[1]


[1] Muhammad Abdul Haq Ansari. 1993. Antara Sufisme Dan Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 46-48

3 komentar:

Anonim mengatakan...

thanks, ngebantu bgt. anak ib ya?

Anonim mengatakan...

thx min, ngebantu bgt

Unknown mengatakan...

maaf baru sempat ditanggapi sekarang... ya saya IB ... senang bisa membantu, blog ini boleh di share ke siapa saja yang kira kira bisa memberi manfaat. Salam pencinta Ilmu