THAWALIB PADUSUNAN
PARIAMAN
A.
Latar Belakang Berdirinya Thawalib Padusunan
Pariaman
Sebelum Perguruan Thawalib
Padusunan didirikan, pada mulanya perguruan Thawalib lahir di daerah Padang
Panjang pada tahun 1911. Dari sinilah cikal bakal lahirnya Perguruan Thawalib yang
ada di seluruh Sumatra Barat, termasuk Perguruan Thawalib Padusunan Pariaman.
Sebelum menjadi perguruan thawalib, di Padang Panjang sudah lahir sebuah
sekolah bernama Sumatera Thawalib yang berasal dari “Surau Jembatan Besi”. Di
Surau Jembatan Besi ini orang banyak belajar ilmu agama, cara belajarnya dengan
menggunakan sistem halaqah yaitu
belajar dengan mengelilingi guru. Kemudian dari surau ini pula terjadi
pembaharuan sistem pendidikan menjadi klasikal yaitu cara belajarnya sudah
mulai modern dengan menggunakan bangku, meja dan papan tulis. Surau Jembatan
Besi, Padang Panjang adalah awal pangkal sejarah Sumatra Thawalib atau Sumatra
Thawalib dahulunya adalah Surau Jembatan Besi.
Pada waktu Padang
Panjang baru menjelma menjadi kota dalam status, tetapi belum berbentuk fisik,
karena daerahnya masih berupa semak belukar, sawah dan ladang. Di sini sudah
terdapat juga beberapa surau, terutama di daerah yang padat penduduknya,
seperti Batipuh dan Sepuluh Koto. Surau-surau ini melaksanakan fungsi
tradisionalnya sesuai dengan fungsi surau pada waktu itu. Begitu juga Surau
Jembatan Besi, mulai berdiri sampai melahirkan Sumatra Thawalib, tidak berbeda
dengan surau-surau lainnya. Haji M.D. Datuk Palimokayo pernah menyatakan, bahwa
pengajian Surau Jembatan Besi sudah berjalan lama sebelum tahun 1900.
Tuangkunya yang pertama adalah Syekh Abdullah. Sistem yang dipakai sama dengan
sistem pangajian yang terdapat di surau-surau lainnya, yaitu sistem halaqah. Mahmud Yunus mengatakan bahwa
surau ini didirikan oleh Haji Rasul pada tahun 1914.[1]
Abdullah Ahmad
kembali dari Mekkah pada tahun 1899. Setibanya di kampung, Padang Panjang, ia
langsung mengajar di Surau Jembatan Besi. Ini berarti Surau Jembatan Besi sudah
berdiri pada waktu itu. Menurut Hamka, surau ini adalah milik Abdullah Ahmad.
Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mulai ikut serta memberi pelajaran agama di surau
ini semenjak sekitar tahun 1904, sepulang mereka dari Mekkah. Zainuddin Labai
mulai ikut belajar mengaji di surau ini sejak tahu 1913.[2]
Abdullah Ahmad
memanfaatkan surau ini untuk mengabdikan ilmu dan pikirannya secara tekun,
bertindak sebagai tuangku yang mendidik anak-anak, baik yang berasal dari
lingkungan surau, maupun yang datang dari luar daerah. Nama Abdullah Ahmad yang
baru pulang dari haji itu mulai harum. Surau inilah yang kemudian bernama Surau
Jembatan Besi, setelah jembatan kayu yang menghubungkan antara dua tepi sungai
kecil yang mengalir di tepi sungai itu diganti dengan besi. Dan sekarang Surau
Jembatan Besi sudah menjadi sebuah mesjid berbeton, permanen dan di beri nama
Mesjid Zu’ama (mesjid para pemimpin).
Abdullah Ahmad
melanjutkan pemberian pendidikan di suraunya itu dengan tetap mengikuti
tradisi, tidak mengubah, menambah atau menguranginya. Beliau dibantu oleh kakak
beradik Syekh Abdul Latif dan Syekh Daud Rasyidi. Akhirnya Abdullah Ahmad
menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan pengelolaan pengajian di surau ini
kepada kedua pembantunya itu.
Pada tahun 1907
haji Abdullah Ahmad mendirikan sekolah agama pertama untuk Indonesia di Padang
Panjang, yaitu Adabiah School. Penamaan
ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan,
penunjang peradaban Islam lewat jenjang pendidikan bagi Sumatra Barat. Sekolah
ini diaturnya berkelas, belajar dan mengajar dilaksanakan dengan memakai
bangku, meja, papan tulis dan buku-buku. Materi pelajaran pokok terdiri dari
pelajaran-pelajaran agama Islam seperti yang terdapat di surau-surau ditambah
pengetahuan umum seperti membaca, menulis, dan berhitung.[3]
Karena sifatnya
yang berbeda sama sekali dari pendidikan surau, maka ia mendapat reaksi dan
tantangan yang keras dari masyarakat. Reaksi dan oposisi demikian sengitnya,
sehingga Abdullah Ahmad menemui kesulitan untuk mengembangkannya lebih lanjut.
Setelah dua tahun digumulinya, akhirnya ditinggalkannya pekerjaannya yang masih
terbengkalai itu. Pada tahun 1909 sekolah ini ditutup dan ia pindah ke Padang,
kota pantai yang penduduknya lebih dinamis, berpikir liberal dan luas
hubungannya dengan dunia luar. Di kota ini ia mendirikan Adabiah School yang
kedua, sebuah sekolah umum yang ditambah pelajaran agama (wajib).
Tujuan Abdullah
Ahmad mendirikan sekolahnya ini adalah untuk membentuk manusia yang cerdas,
berkebangsaan dan bertaqwa kepada Allah swt. Adabiah ini tentu lebih sempurna
dari pada yang di Padang Panjang, karena disamping sudah berpengalaman,
Abdullah Ahmad juga sudah mengadakan peninjauan ke sekolah agama atau Madrasah al-Iqlab al-Islamiah di
Singapura yang didirikan Utsman Efendi Rafat dari Mesir pada tahun 1908.
Sekolah ini banyak mencontoh rencana pelajaran yang berkembang di Mesir dan
dunia barat. Murid-muridnya berasal dari anak Melayu asli, baik anak kota
maupun anak desa. Mereka yang tamat dari madrasah inilah yang nantinya tampil
menjadi pelopor berbagai organisasi Islam di seluruh Semenanjung Tanah Melayu
dan berperan secara efektif menjadi agen pemisah antara paham kelompok
pembaharu dan kelompok lama yang enggan menerima segala bentuk perubahan.
Selain kunjungan
Abdullah Ahmad ke sekolah ini, yang mungkin belum banyak artinya waktu itu,
karena baru satu tahun berdiri, ia juga banyak mengadakan pembicaraan dengan
Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Syekh inilah yang banyak memberikan motivasi
dan pengarahan kepadanya tentang corak pendidikan Islam yang seharusnya dibina,
yaitu menurut ukuran dan acuan yang ada di Mesir.
Untuk menandingi
sekolah-sekolah umum terutama HIS, Adabiah dihidupkan dengan mengadopsi secara
mutlak sistem dan metode pendidikan Belanda. Bedanya hanyalah di sekolah ini
diajarkan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib. Lebih jauh dari itu,
namanya pun pada tahun 1915 diubah menjadi Hollandsch
Maleische School Adabiah atau Hollandsh
Inlandsche School Adabiah disingkat HMS Adabiah atau HIS Adabiah. Maka ada
yang berpendapat, bahwa Abdullah Ahmad itu sebenarnya adalah Hollandisator. Pada tahun perubahan
namanya ini pula ia mulai diberi subsidi oleh pemerintah kolonial yang berupa
dana dan tenaga guru yaitu tiga orang Belanda, seorang sebagai kepala sekolah
dan dua orang lagi sebagai guru biasa. Setelah Adabiah School, lahirlah
school-school yang lain.[4]
Pada tahun 1910
Syekh Muhammad Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Sungayang yang
memberikan pengajian tentang kitab-kitab menurut sistem halaqah. Akan tetapi
tahun1913 sekolah ini terpaksa ditutup karena kekurangan tenaga guru. Tahun
1918 sekolah tersebut dihidupkan kembali oleh Mahmud Yunus.
Pada tahun 1915,
Zainuddin Labai mendirikan Diniah School
di Padang Panjang, sebuah sekolah agama plus pendidikan umum, kebalikan dari
Adabiah Padang. Sekolah ini masih bertempat di surau atau di mesjid, tetapi
diselenggarakan dengan sistem dan metode pendidikan umum, berkelas, berbangku,
berpapan tulis dan berbuku. Sekolah ini dibaginya dua: tingkat dasar dan tingkat
menengah atau ibtidaiyah dan tsanawiyah, masing-masing belajar selama
tiga dan empat tahun. Pertama dibuka, sekolah ini telah mempunyai 150 orang
murid laki-laki dan perempuan, tetapi tempatnya terpisah. Murid laki-laki
ditempatkan di serambi mesjid sebelah kiri, diajar Engku Haji Mahmud dan Haji
Saleh, mjurid wanita di serambi sebelah kanan, di ajar sendiri oleh Engku
Zainuddin Labai.
Melihat kondisi
sekolah ini yang sangat sederhana, Asisten Residen pernah menawarkan subsidi
seperti yang diberikan kepada Adabiah, tetapi Tuan Labai menolaknya.
HIS Adabiah Padang
dan Diniah School Padang Panjang dapat dianggap sebagai pelopor pola pendidikan
nasional Indonesia. Yang pertama, sebagai lembaga pendidikan umum plus agama
dan yang kedua, sebagai lembaga pendidikan agama plus umum. Satu pola kombinasi
pendidikan yang harmonis, cocok sekali kelihatannya dengan yang sekarang.
Diniah School mempunyai sifat-sifat yang khusus, mulai dengan murid laki-laki
dan perempuan, segala umur, anak-anak samapai yang sudah berkeluarga. Kaum
wanita tidak dianjurkan untuk masuk, tetapi juga tidak ditolak kalau ingin
mendaftarkan diri menjadi murid. Pendidikan dilaksanakan secara klasikal
langsung. Pakaian murid laki-laki: celana, kemeja, dasi dan tanpa kopiah. Murid
perempuan, bebas asala sopan dan bersih. Pakaian ala barat ini haram hukumnya
menurut pandangan masyarakat pada waktu itu.[5]
Murid putri yang
pertama Diniah School, Encik Rahmah El-Yunisiah, berhasil pula mendirikan dan
membina satu lembaga pendidikan khusus bagi kaum wanita, Diniah School Putri.
Kelahiran
school-school ini dapat dipandang sebagai pegaruh dari dan sekaligus tandingan
bagi Volkschool yang didirikan pemerintah untuk seluruh lapisan anak-anak
pribumi, tanpa membedakan status orang tua mereka. Volkschool yang dikenal juga
dengan sekolah desa ini cepat sekali berkembangnya. Tahun 1915 sudah terdapat
358 buah sekolah jenis ini di Sumatra Barat.
Pertumbuhan ini
mempengaruhi masyarakat, murid-murid yang mengaji di surau mulai berkurang.
Oleh sebab itu guru-guru terekat menentang perkembangan sekolah desa ini, yang
dinamakan mereka dengan Sekolah Dosa, karena
didirikan oleh kaum kafir yaitu pemerintah kolonial Belanda. Sebelumnya,
guru-guru tarekat memang mempunyai banyak murid, setiap surau ada sekitar 500
sampai 1000 orang muridnya. Setelah “Sekolah Dosa ” dikutuk maka surau ramai
lagi dan tumbuh dengan pesat. Gubernur Sumatra Barat, W.A.C. Whitlaw mengakui
bahwa Sekolah Desa sejak semula sudah ditentang dan dikutuk oleh guru-guru
tarekat.
Untuk mengelola
Surau Jembatan Besi, Abdullah Ahmad dibantu oleh Syekh Abdul Latif dan Syekh
Daud Rasyidi. Sewaktu Abdullah Ahmad meninggalkan Padang Panjang, kedudukannya
sebagai penanggung jawab dan guru mengaji di surau ini di serahkan sepenuhnya
kepada Syekh Daud Rasyidi. Padang Panjang ketika itu sudah ramai didatangi
orang dari luar untuk mempelajari ilmu agama Islam, mengimbangi Bukittinggi
yang sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan umum karena Kweekschoolnya.
Syekh Daud Rasyidi
mulai mengembangkan pendidikan dan pengajaran Islam. Ia bukan saja mengajar
orang mengaji, tetapi juga mengajar orang bermasyarakat dan memimpin jamaah,
khususnya masyarakat Padang Panjang yang sudah diramaikan juga oleh kegiatan
dagang.[6]
Pada tahun 1906,
Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul, pulang dari Mekkah.
Pada mulanya ia menetap dan mengajar ngaji di suraunya di Maninjau, kampungnya
sendiri. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau, berguru kepada Haji
Rasul. Selama hampir dua tahun ia bolak-balik antara Padang Panjang-Maninjau,
mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan pimpinan surau
Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya Abdul Latif sampai akhir hayatnya.
Sementara itu Haji
Rasul sendiri diminta oleh Abdulla Ahmad untuk membantu memajukan pengajian
surau Jembatan Besi dengan cara bolak-balik ke Padang Panjang dari Maninjau.
Walaupun kesibukannya di Maninjau cukup padat, karena disamping mengajar
mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaan kaum adat, namun permintaan
rekannya diatas dipenuhinya juga. Tidak berapa lama berulang antara
Maninjau-Padang Panjang, karena Abdullah Ahmad sudah mulai berhasil di Padang,
maka Haji Rasul diminta beliau pula untuk pindah ke Padang, ke kota yang lebih
ramai, dimana Haji Rasul yang telah semakin harum namanya karena ketinggian
ilmu dan kajinya, dapat lebih cepat berkembang dan lebih besar peranannya.
Permintaan ini pun
dipenuhi Haji Rasul dan ia pindah ke Padang mengajar bersama Abdullah Ahmad dan
mengasuh majalah Al-Munir. Sementara
itu tugas bolak-balik ke Padang Panjang tetapi dilakukannya, tetapi sekarang
bukan dari Maninjau ke Padang Panjang lagi, melainkan antara Padang dan Padang
Panjang. Bersama Abdul Latif, pengajian surau Jembatan Besi semakin
ditingkatkannya. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, selutuh umat Islam
Padang Panjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan
memimpin surau Jembatan Besi. Atas restu Abdullah Ahmad, harapan masyarakat ini
dikabulkannya dan mulai 1912, ia menetap di Padang Panjang, sekaligus menjadi
pemimpin tunggal surau Jembatan Besi.
Setelah Haji Rasul
menetap di Padang Panjang dan memimpin surau Jembatan Besi, bertambah ramailah
anak-anak yang datang dari seluruh Sumtra Barat untuk mengaji ke surau ini.
Dalam beberapa tahun saja setelah itu, surau Jembatan Besi sudah menjadi pusat
pengajian besar.
Nama Haji Rasul
semakin harum dan semakin tersebar luas, baik sekitar wilayah Minagkabau maupun
di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi pusat jala pumpunan
ikan bagi bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Sistem
pendidikannya masih tetap tidak berubah, tetapi isi pengajiannya sudah
dikembangkan. Kepada murid-murid yang ditanamkan semangat baru, yaitu semangat
berdiskusi, berpikir bebas, membaca, memahami dan berkumpul atau berorganisasi.
Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan, murid boleh bertanya dan mendebat.[7]
Disisi lain
kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, politik dan keagamaan sedang mengalami
perubahan-perubahan pula. Perjuangan dan pergerakan nasional mulai gencar
diayunkan ke seluruh nusantara. Ini diawali dengan berdirinya berbagai
organisasi seperti: Jami’atul Khair, Budi Utomo, Serikat Islam, Muhamdiyah,
Partai Komunis Indonesia, Nahdatul Ulama, Partai Nasional Indonesia dan
lain-lain.
Pemikiran ke arah
berorganisasi semakin berkembang. Pada tahun 1914, Abdullah Ahmad mendirikan
organisasi Vereeneging Sarekat Usaha
di Padang. Pada tahun 1915 Bagindo Jamaluddin Rasyad dan kawan-kawannya
mengadakan pertemuan atau rapat umum terbuka di gedung bioskop Pasar Usang,
Padang Panjang. Pertemuan umum ini merupakan yang pertama bagi organisasi
Kombinasi Minangkabau yang didirikan Rasyad sendiri bebarapa waktu sebelumnya.
Pada waktu itu
Rasyad baru saja kembali dari perjalannya mengunjungi beberapa negara Eropa.
Walaupun ia bbukan seorang tuangku atau tokoh agama, namun karena pertemuan itu
akan diisi oleh ceramah Rasyad tentang pengalamannya melihat kemajuan Eropa,
banyak orang yang ingin mendengarnya, termasuk anak-anak mengaji surau Jembatan
Besi asuhan Haji Rasul.
Isi ceramah Rasyad
sebagai oleh-oleh dari Eropa, disamping cerita mengenai kemajuan pendidikan dan
ilmu pengetahuan yang telah dicapai di Eropa, dia juga menekankan pentingnya
berorganisasi. Menurutnya Eropa telah mempunyai kesadaran yang sangat tinggi
dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai.
Sebaliknya usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan
berkesudahan dengan kegagalan.
Sementara Rasyad
menjelaskan bagaimana pentingnya organisasi, murid-murid surau Jembatan Besi
khususnya, tertarik dengan penampilan Rasyad, terutama karena ia tidak memakai
kopiah atau peci dalam pertemuan itu. Mereka tahu bahwa Rasyad adalah seorang
muslim, putra Minangkabau kelahiran Pariaman. Pada waktu itu masih ketat
ketentuannya, bahwa setiap laki-laki muslim harus memakai peci untuk
membedakannya dengan laki-laki yang bukan muslim. Maka mereka heran, mengapa
Rasyad sebagai seorang pemuda muslim berani tidak memakai kopiah di muka umum.
Dibawah ajakan Haji
Habib, salah seorang murid surau Jembatan Besi, berkumpulah sebagian murid yang
hadir dalam pertemuan dengan Rasyad itu. Umumnya mereka terdiri dari
murid-murid yang sudah lanjut kajinya, jadi sudah termasuk senior. Dalam
pertemuan terbatas itu mereka diskusikan dua hal penting, yaitu tidak memakai
peci dan organisasi.[8]
Masalah tidak
memakai peci disepakati agar hal itu dimintakan fatwa langsung dari guru, yaitu
Haji Rasul. Haji Rasul menyatakan bahwa orang boleh tidak memakai kopiah.
Tentang organisasi disepakati untuk membentuknya. Nama yang dipilih untuk
organisasi ini adalah Persaiyoan.
Tujuan pokoknya ditetapkan untuk membantu dan mempermudah murid medapatkan
keperluan harian mereka dengan harga yang ringan dan longgar pembayarannya.
Dengan demikian terbentuklah organisasi murid yang bergerak dalam bidang
lapangan sosial ekonomi. Barang-barang pokok yang disediakan adalah sabun mandi
dan sabun cuci yang sangat banyak diperlukan, kemudian dilengkapi juga dengan
buku tulis, pensil dan keperluan lainnya, sehingga Persaiyoan dikenal juga dengan Perkumpulan
Sabun.
Setelah perkumpulan
ini langsung dapat dirasakan manfaatnya, tahun 1917 Hasyim, murid surau
Jembatan Besi yang berasal dari Tapak Tuan Aceh, berusaha mengembangkannya.
Atas bantuannya semua keperluan murid seperti disebut diatas, ditambah dengan
pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, cuci dan setrika, keperluan dapur
dan kebutuhan harian lainnya berhasil disediakan dan dilayani. Dengan ini murid
merasa tertolong, karena umumnya mereka berasal dari luar kota Padang Panjang.
Mereka adalah anak-anak yang kaya dengan kemauan dan ingin maju lantaran
dorongan cinta ilmu agama, akan tetapi miskin harta serta kurang biaya.
Laporan asisten
residen Sumatra Barat mengenai gerakan politik agama di Sumatra Barat
menyatakan, bahwa Haji Habib pada tahun 1916 membentuk suatu perkumpulan
murid-murid Haji Rasul Padang Panjang dengan nama Thuwailib. Datuk Palimokayo
tidak sepakat dengan. Menurutnya Persaiyoan dan perkumpulan Sabun itulah nama
asli perkumpulan murid itu. Pada tahun 1918 baru diubah manjadi Thuwailib.[9]
Pada tanggal 9
Desember 1917, pelajar-pelajar yang berasal dari Sumatra Barat mendirikan Jong
Sumatranen Bond di Batavia. Tujuannya adalah mempererat hubungan antara
murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi
pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Dipimpin
oleh M. Hatta dan M. Yamin. Organisasi inipun cepat diterima di Sumatra Barat,
karena tidak berapa lama setelah berdiri, cabangnya sudah ada di Bukittinggi
dan Padang. Berhubung murid Surau Jembatan Besi sebagian besar berasal dari
luar Padang Panjang dan bahkan banyak pula yang datang dari wilayah-wilayah
lain di Pulau Sumatra, maka Zainuddin Labai dan Jalaluddin Thaib mengubah nama
Thuwailib menjadi Sumatra Thuwailib. Begitu juga pengajian Surau Jembatan Besi
sekaligus disesuiakan namanya menjadi Sumatra Thuwailib dan ditempatkan di
bawah pengawasan dsatu pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari
tamatan Surau Jembatan Besi.
Keadaan seperti
yang terurai diatas merangsang masyarakat surau berlomba-lomba mendirikan
organisasi agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Di desa Parabek dekat
Bukittinggi, pada tahun 1908 Ibrahim Musa mendirikan sebuah surau yang kemudian
dikenal dengan nama surau Parabek. Waktu itu Ibrahim Musa baru saja kembali
dari menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekkah. Surau ini cepat terkenal
karena Ibrahim Musa yang menjadi gurunya sendiri dianggap telah memiliki ilmu
yang luas tentang agama Islam, seperti halnya Haji Rasul di Jembatan Besi
Padang Panjang. Daya tarik surau ini semakin besar setelah Ibrahim Musa belajar
lagi ke Mekkah selama beberapa tahun dan kembali pulang pada tahun 1916. Semenjak
waktu itu dia tingkatkan terus pengajiannya sehingga muridnya semakin bertambah
dan seperti halnya dengan Padang Panjang, mereka berdatangan dari berbagai
daerah di luar Sumatra Barat, termasuk dari Riau, Jambi, Palembang, Lampung,
dan Bengkulen. Pada tahun 1919 murid-murid surau Parabek ini mendirikan
perkumpulan murid yang mereka namakan Jami’at al-Ikhwan atau Tsamarat al-Ikhwan
atau Muzakarat al-Ikhwan dan yang terakhir inilah yang lebih kuat.[10]
Terbawa oleh
perkembangan aktivitas dan kreativitas murid-murid Jembatan Besi Padang Panjang
yang telah menyempurnakan nama organisasinya menjadi Sumatra Thuwailib, surau
Parabek ini pun menyempurnkan nama Thuwailibnya menjadi Sumatra Thuwailib.
Dengan ini jelas
bahwa sudah lahir dua buah Sumatra Thuwailib dari dua buah surau penting di
Sumatra Barat, sebagai peningkatan dan penyempurnaan dua buah organisasi murid.
Dua buah Sumatra Thuwailib inilah yang kemudian menjelma menjadi Sumatra
Thawalib.
Menurut Mahmud
Yunus, perkumpulan Sumatra Thawalib mula-mula didirikan di Padang Panjang denga
nama Sumatra Thuwailib, maksudnya Thuwailib Sumatra yang berarti pelajar kecil
Sumatra.[11]
Dari semula sudah
tampak, bahwa antara surau Jembatan Besi dan surau Parabek terjalin hubungan
yang sangat erat. Murid-muridnya saling tukar-menukar, cita-citanya sama, guru
utamanya seperguruan dan bersahabat karib. Maka tidak heran kalau ada usaha
yang terus menerus untuk mempersatukan kedua lembaga surau ini. Sewaktu murid
meningkat dengan pesatnya dan perkumpulan juga makin terasa manfaatnya,
timbulah ide untuk menjalin kerja sama yang lebih konkrit dengan membentuk satu
organisasi yang dapat mendukung kedua belah pihak.
Didahului oleh
pertukaran pikiran antara Sumatra Thuwailib Padang Panjang dengan Sumatra
Thuwailib Parabek, baik antara pengurus dan pengasuhnya, maupun antara Haji
Rasul dan Ibrahim Musa, terdapatlah kesepakatan untuk membentuk suatu
Organisasi bersama.
Bertempat di surau
Haji Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, diadakan pertemuan resmi untuk
membicarakan pembentukan organisasi dimaksud. Dala pertemuan itu hadir wakil
kedua organisasi didampingi guru utama mereka masing-masing dan disertai pula
oleh Syekh Jamil Jambek sendiri. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk
mendirikan suatu organisasi bersama, tetapi belum konkrit wujudnya. Pertemuan
ini kemudian dilanjutkan dengan konsultasi antara Padang Panjang dan Parabek.
Akhirnya didapat kesepakatan yang bulat, yaitu membentuk suatu organisasi yang
umum dengan cara melebur dan menggabungkan Sumatra Thuwailib Surau Jembatan
Besi dengan Sumatra Thuwailib surau Parabek menjadi satu dengan nama baru yaitu
Sumatra Thawalib. Ini terjadi pada tanggal 15 Februari 1920.
Sumatra Thawalib
pertama ini diketuai oleh Haji Jalaluddin Thaib atau Hasyim al-Husni menurut
Hamka, karena setelah satu tahun Hasyim jadi ketua, barulah digantikan oleh
Haji Jalaluddin Thaib yang berkedudukan di Padang Panjang.[12]
Demikianlah Sumatra
Thawalib lahir sebagai suatu organisasi tempat seluruh pelajar surau Jembatan
Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi bersatu dan memadukan
aktivitas mereka yang sebelumnya digiatkan melalui organisasi lokal
masing-masing. Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama ini diikuti oleh Sumatra
Thawalib-Sumatra Thawalib surau lainnya di berbagai daerah, baik yang berada di
Sumatra Barat maupun diluarnya, sampai ke Aceh dan Bengkulen.
Akhirnya dapat
disimpulkan, bahwa Sumatra Thawalib lahir memang sebagai organisasi, yaitu
organisasi murid atau pelajar-pelajar mengaji Surau Jembatan Besi Padang
Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi Sumatra Barat. Tidak lama kemudian,
setelah tampak hasil dan kegunaannya, daerah-daerah lain segera pula membentuk
organisasi Sumatra Thawalib serupa. Sumatra Barat Menjadi demam Thawalib pada
waktu itu.[13]
Perguruan Thawalib ini seterusnya
berkembang dan berpengaruh ke daerah-daerah lain seperti: Bukittinggi,
Batusangkar, Payakumbuh dan salah satunya Kota Pariaman. Pendirian Perguruan
Thawalib ini merupakan salah satu thawalib yang pertama di daerah Padusunan
Pariaman.
Daerah IV Angkek Padusunan
merupakan suatu desa kecil yang terletak lebih kurang 3 Km di sebelah utara
Kota Pariaman dan 2 Km dari pantai pesisir Barat Samudera Indonesia, tidak mau
ketinggalan dari desa/negeri sekitarnya dalam mendirikan sekolah agama, baik
berupa pengajian di rumah-rumah, di surau-surau atau di madrasah.
Pengajian surau pertama di
Padusunan sudah dimulai sekitar tahun 1910 di mesjid negeri Padusunan, sebuah
surau bekas mesjid lama yang disebut Surau Usang dibawah pimpinan Tuanku Tuo
Telur. Surau Gadang atau Surau Usang yang mula-mula tempat anak-anak mengaji
Al-Qur’an, kemudian meningkat dengan pengajian kitab. Pada tahun 1914/1915,
pengajian kitab sudah ramai di Padusunan. Murid-muridnya menginap (mondok) di
surau. Murid-muridnya bukan saja berasal dari Padusunan, tetapi mereka datang
dari negeri tetangga seperti, Kampung Dalam Pariaman, Nareh Pariaman, Kudu
Pariaman, bahkan ada yang dari Riau, Rengat dan sebagainya.[14]
Pada waktu itu, ada surau kecil
yang bernama “Surau Sarikaik” yang didirikan pada tahun 1914. Surau ini
merupakan tempat mengaji Al-Qur’an, belajar ilmu agama, dan mengaji kitab. Cikal
bakal beridirnya “Thawalib Padusunan” dimulai dari surau ini. Pada saat itu,
H.Rahman ingin membeli kedai di Padang Panjang, karena beliau menetap di daerah
ini saat itu. Setelah beliau berunding dengan menantunya, Pakiah Shaleh, yang
juga merupakan orang yang paham ilmu agama, beliau mengusulkan supaya tidak
usah membeli kedai di Padang Panjang. Dana yang ada sebaiknya disumbangkan untuk
mendirikan sebuah sekolah agama, karena itu akan bermanfaat banyak bagi
masyarakat. Usulan Pakiah Shaleh ini disetujui oleh H.Rahman sehingga
berdirilah sebuah sekolah agama yang bernama “Perguruan Thawalib Padusunan”.[15]
Perguruan Thawalib ini didirikan
tahun 1930 atas usaha satu keluarga. Perguruan Thawalib ini disponsori oleh
Engku Bukhari M., Haji Rahman, dan Pakiah Saleh. Engku Bukhari merupakan alumni
Thawalib Padang Panjang, sementara Haji Rahman tidak bersekolah, kecuali
mengaji dan belajar Islam di Mekkah, Pakiah Saleh pernah belajar di Parabek
tetapi tidak tamat. Haji Rahman merupakan seorang hartawan. Sewaktu beliau
pergi ke Padang Panjang, H. Rahman melihat surau yang didirikan oleh Mak
Adam dan gedung Diniah School Putri yang
baru selesai dibangun oleh Rahmah El-Yunusiah.
Pada saat dia kembali ke Padusunan,
ia langsung mengerahkan dana dan tenaganya untuk membangun gedung sekolah.
Berdirilah sekolah yang dinamakan dengan Thawalib laki-laki dan Thawalib
perempuan. Masing-masing dipimpin oleh Engku Bukhari dan Tuanku Hamid. Pakiah
Saleh membantu sebagai guru di perguruan tersebut.[16]
Setelah dua atau tiga tahun
berdirinya kedua perguruan Thawalib Padusunan ini, goncanglah masyarakat karena
ide-ide paham baru yang dianut dan dikembangkannya. Masyarakat yang biasa
menerima pengajian di surau secara tradisional, belajar membaca al-Qur’an,
rukun iman, rukun Islam dan sifat-sifat Tuhan. Namun, di Thawalib mereka
belajar menggunakan kelas, duduk di bangku, menulis di meja, di muka kelas ada
papan tulis, memakai buku dan sebagainya. Mata pelajaran yang mereka pelajari
bukan hanya agama, melainkan bercampur dengan mata pelajaran umum yang selama
ini tidak pernah mereka kenal. Apalagi putri, pantaskah mereka belajar seperti
laki-laki dan menerima pelajaran yang bukan pelajaran agama. Padahal masyarakat
telah menganggap bahwa kodratnya anak putri itu harus tetap di rumah dan
mengerjakan segala pekerjaan rumah.
Selain dari itu, cara berpakaian
para murid Thawalib, cara mereka beribadat di surau, buku-buku yang mereka baca
dan sebagainya, dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran ulama selama ini.
Sebab itu murid-murid Thawalib dan sebagian golongan muda-muda yang sepaham
dengan mereka, dimusuhi dan tidak diterima oleh golongan tua-tua. Pertentangan
ini demikian tajamnya, sehingga sering berkembang menjadi pertentangan fisik,
karena golongan tua-tua kuat bertahan pada tradisi lama mereka dan keras
menentang kehadiran paham baru yang juga memberikan kesempatan seluas-luasnya
bagi anak perempuan untuk bersekolah.[17]
Pada tahun 1932, seorang anggota
keluarga Haji Rahman, yaitu Haji Rasul Telur, yang sudah lama bermukim dan
belajar Islam di Mekkah dipanggil pulang. Kedatangannya kembali ke tanah air
disambut dengan satu pertemuan yang dihadiri oleh sebagian ulama-ulama
berpendidikan Sumatra Barat. Banyak ulama yang hadir di Padusunan waktu itu, sehingga
mata masyarakat Padusunan terbuka bahwa pendidikan sangat penting bagi
anak-anak mereka. Mulai saat itulah, mereka memberikan dorongan posotif
terhadap Thawalib.
Sejak tahun 1923 itu, pimpinan
thawalib putra dan putri diserahkan kepada Haji Rasul Telur yang dijabatnya
hingga tahun 1935. Setelah Thawalib Padusunan dibuka secara resmi pada tahun
1931, H.Rasul Telur telah membuka kelas tinggi untuk mengaji kitab bagi murid
laki-laki yang bertempat di serambi sebelah barat Surau Serikat, bersebelahan
dengan tempat tinggal beliau. Murid-murid berdatangan dari berbagai daerah di
Minangkabau dan sekitarnya, yang membuat Padusunan semarak, ramai dan maju.
Apalagi semangat pergerakan lagi membara di Minangkabau, termasuk di Padusunan
ini. Kelas ini masih berlanjut sampai madrasah thawalib sudah mempunyai kelas
tertinggi di bawah asuhan Tuangku Husein.
Pada awal berdirinya Thawalib
Padusunan ini, hanya terdiri atas tiga lokal saja dengan bangunan yang sangat
sederhana, yaitu dengan bangunan yang semi permanen. Pelajaran yang diajarkan
pada waktu itu seperti; Fiqih, Tauhid, Hadits, Nahu, Saraf, Tafsir dan ilmu
Mantiq. Adapun guru-gurunya yang pertama waktu itu yaitu Ungku Mukhsin dari
Sikapak Pariaman, Ungku Maringi dari Bato Pariaman, Ungku Bakar dari Cubadak
Aie Pariaman, termasuk juga Pakih Saleh. Belajarnya dimulai dari jam 07.00
sampai jam 13.00 WIB. Sehabis belajar biasanya para murid menghabiskan waktunya
dengan kegiatan olah raga setiap sore. Para santri tidur di asrama yang telah
disediakan oleh perguruan Thawalib.[18]
Hal yang unik pada Thawalib ini
adalah bahwa pelajar wanita belajar di balik dinding. Guru mengajar di depan
kelas hanya menghadap murid laki-laki sedangkan murid perempuan belajar dari
balik dinding. Ini berlaku untuk kelas empat dan lima, adapun kelas satu sampai
dengan kelas tiga belajar campur satu kelas hanya duduk bersebelahan, murid
laki-laki duduk di sebalah kanan kelas dan murid perempuan duduk sebelah kiri.
Guru yang mengajar pada waktu itu adalah Gutuo Sakar untuk kelas rendah dan
Gutuo Mendek untuk kelas tinggi. Walaupun belajar dari balik dinding, murid
perempuan tetap tekun belajar dan disiplin, mungkin karena takut pada ujian dan
mungkin karena tidak ingin kalah bersaing dengan murid laki-laki yang nota
benenya belajar di depan guru.
Ujiannya sudah memakai kwartalan
yaitu 3 kwartal dalam satu tahun. Ujiannya meliputi Kitaby dan Syafahy yang
mereka ikuti dengan penuh semangat. Selain pelajaran harian di sekolah, setiap
hari libur (hari jum’at) mereka diberi pelajaran “Kursus Pergerakan” seperti leadership
sekarang, yaitu pelajaran organisasi dan admistrasi, pelajaran politik dan
sebagainya. Yang menyangkut pergerakan, dipimpin oleh Gutuo Syair (salah
seorang murid kelas tertinggi H. Rasul Telur). Waktu itu organisasi PMDS
(Pemersatu Murid-Murid Diniyah School) yang berpusat di Padang Panjang, telah
terbentuk rantingnya di Padusunan yaitu di Thawalib Padusunan ini pada tahun
1923 dengan ketuanya Kamarisah A.N. dan sekretarisnya Jamilah Majid lengkap
dengan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM).
Pada tahun 1933 Haji Rasul Telur
diminta oleh Haji Mukhtar Yahya untuk membantu mengajar di Islamic College
Padang. Tugas ini beliau laksanakan dengan pulang pergi antara
Padusunan-Padang. Pada tahun 1935, ia resmi pindah ke Padang dan pimpinan
Thawalib diserahkan kepada Tuanku Husein dari Sikapak, Pariaman.[19]
B.
Masa Perkembangan dan Hubungan Thawalib Padusunan
Pariaman dengan Thawalib Padang Panjang
1.
Masa Perkembangan
Sebagaimana
layaknya suatu lembaga pendidikan, Thawalib Padusunan juga mengalami
perkembangan dan pasang surut seperti lembaga pendidikan lainnya. Pada awal
berdirinya Thawalib Padusunan ini, hanya terdiri atas tiga lokal saja dengan
bangunan yang sangat sederhana, yaitu dengan bangunan yang semi permanen. Yang
terdiri dari VII kelas, yaitu kelas I sampai VII. Pada tahun 1933 kelas
tertinggi baru samapi kelas V, belajarnya mulai dari jam 08.00 pagi sampai jam
12.30. Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada waktu itu terdiri dari 12 mata
pelajaran, yaitu Fiqih, Tauhid, Nahu, Sharaf, Tafsir, Hadits, Musthalaah,
Hadits, Ushul Fiqih, Manthiq, Maani, Al Badi, dan Al Bayan. Pada saat itu
Thawalib ini dipimpin oleh H.Rasul Telur. Beliau merupakan seorang ulama yang
pernah belajar di Timur Tengah, setelah pulang dari sanalah beliau mengadakan
pembaharuan dalam bidang pendidikan di kampungnya yaitu Padusunan. Beliau
berhasil membuka mata masyarakat untuk menerima sekolah agama ini. Beliau
pernah memimpin Thawalib ini lebih kurang selama 11 tahun, yaitu dari tahun
1923 sampai 1935.
Awal
tahun 1934 H. Rasul Telur menyerahkan pimpinan Thawalib kepada ulama muda yaitu
Tuanku Husin dari Sikapak Pariaman. Tuanku Husin merupakan salah seorang
aktivis muda “PERMI (Persatuan Muslim Indonesia)” sama seperti Gutuo Syair,
yang semenjak PERMI dibubarkan dan para pemimpinnya dibuang ke Boven Digul,
mereka yang muda-muda terjun ke bidang pendidikan dan mengajar di desa-desa.
Tuanku Husin dengan jiwa muda, semangat muda dan cita-cita yang muda memimpin
dan memacu sekolah mencapai sukses.
Pada
waktu itu banyak pelajaran baru yang dimasukkan untuk menggugah semangat para
pelajar, seperti:
1) Al Jugkrafi (Ilmu Bumi)
2) Tarbiyatul Wathan (Tata Negara)
3) Islam Ruhul Madaniyah (Al Islam wa
Karomer)
4) Bahasa Arab dengan Muhadasah, Insjaa’,
Imla’ dan Mahfuzhat dan sebagainya.
Di kelas V
diajarkan tulisan indah (Khat Arab) dan Iszhatun Nasyiin (berisi semangat pergerakan
dari Mesir) yang waktu itu termasuk buku terlarang, juga bahasa Inggris di
kelas VII dan lain-lain.
Di
bawah Pimpinan Tuanku Husin, Thawalib Padusunan menanjak maju dan banyak
pelajar yang berdatangan dari luar Padusunan, seperti dari Naras Pariaman,
Manggung Pariaman, Kampung Dalam dan juga pelajar tamu dari Sikapak Pariaman
yaitu pelajar kelas tertinggi yang belajar vak tertentu. Para pelajar banyak
yang datang dari jauh dengan naik sepeda dan ada pula yang tinggal di asrama.
Asrama untuk wanita bernama “surau anjung” bertingkat dua yang terletak di
belakang gedung sekolah lengkap dengan dapur dan sumurnya.
Gedung
Thawalib ini terletak cukup ideal waktu itu, yaitu terletak di sebidang tanah
di pinggir jalan agak kedalam. Surau serikat yang menjadi induk bangunan yaitu
sebagai tempat shalat berjamaah, tempat majelis taa’lim sekali seminggu untuk
kaum ibu dan kaum bapak, tempat tinggal guru besar dan sebagian pelajar
laki-laki. Di sampingnya berdiri gedung sekolah dengan tiga lokal yang di
depannya berdiri panggung batu tempat pidato dan rapat-rapat umum serta rumah
kecil untuk guru kepala dan wakilnya.
Di
belakang sekolah samping kanan terdapat Surau Anjung asrama bagi murid wanita.
Masalah keamanan cukup terjamin, karena disamping langsung dibawah pengawasan
para guru, pimpinan harian dipegang oleh seorang ibu setengah baya “Utih
Rabiadah” dibantu oleh Anya Diman dan pelajar kelas tertinggi.
Kehidupan
di asrama atau di Madrasah sangat akrab, baik sesama murid atau antara murid
dan para pengajar, bagaikan orang tua dan anak-anaknya yang merupakan ciri khas
Madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya. Pemandangan di sekeliling
sekolah sangat indah, dengan di latar belakang terbentang perbukitan yang penuh
oleh pohon kelapa yang melambai-lambai, sedangkan didepan terhampar sawah nan
hijau sejauh mata memandang.
Pergaulan
yang akrab dan lingkungan yang nyaman inilah yang memacu para murid untuk tekun
belajar, disamping semangat juang yang setiap hari dipompakan oleh para guru.
Pelajaran Al Islam Ruhul Madniyah betul-betul menanamkan rasa kesadaran,
pengertian dan kecintaan terhadap Islam, sedangkan Izzhatun Nasyiin menanamkan
gairah dan semangat juang yang tinggi. Demikianlah bulan demi bulan bejalan dan
tahun pun berganti tanpa henti dan Madrasah Thawalib sampai mengantarkan
murid-muridnya menamatkan pelajaran kelas VII.
Dibulan
Rajab tahun 1354 H bertepatan dengan tahun 1935 para pelajar kelas VII Thawalib
memasuki Eind Examen. Hampir semua mata pelajaran diujikan, baik kitaby maupun
Syafahy. Yang beruntung sampai memasuki ujian akhir hanya 5 orang, yaitu 3
orang perempuan dan 2 orang laki-laki, yang lainnya gugur ditengah jalan, ada
yang karena pindah dan ada yang sama sekali tidak melanjutkan sekolah.
Para
examinator yang terdiri dari guru-guru besar dari luar, duduk di depan kelas
dan pelajar di panggil satu demi satu bergantian. Pelajaran yang diujikan
adalah:
1) Tafsir dengan buku tafsir “Muhammad
Abduh” juz 5 surat An-Nisa’ ayat “Waalmuhsanaat”.
2) Fiqih dengan buku “Bidayatul Mujtahid”
bab “Kitabun Nikah”.
3) Nahu Sharaf dengan membaca matan kedua
kitab tersebut dan Ushul Fiqih dalam Munaqasyah.
Para examinator
terdiri dari ulama terkemuka daerah Pariaman yang diketuai oleh guru besar
Engku H. Sutan Darab Mudir “Darul Maarif” Pariaman.
Pada
waktu itu semua pelajar kelas VII lulus dengan baik. Sekolah mengadakan
perayaan besar-besaran menyambut lulusan pertaman ini dengan memotong sapi dan
sebagainya. Ijazah diserahkan dalam suatu malam recepti yang meriah, dihadiri
oleh ninik mamak, cerdik cendekia, sahabat kenalan dan orang tua murid.
Demekianlah setiap tahun Thawalib mengeluarkan murid-muridnya semenjak lulusan
pertama tahun 1935.
Sebagaimana
lazimnya Surau dan Madrasah di masa penjajahan Belanda, Thawalib ini hampir
selalu dipakai dan dimanfaatkan sebagai basis perjuangan umat. Thawalib juga
merupakan tempat menempa dan membina umat menjadi muslim yang baik, kuat iman
dan taqwanya kepada Allah SWT. Selain itu, karena pengaruh di masa penjajahan,
secara tidak langsung dalam diri pelajar juga tertanam cinta kepada tanah air,
membenci penjajahan dan segala bentuk kezaliman. Jadi, selain menambah
pengetahuan agama, Thawalib ini juga berperan dalam membina generasi untuk
menghadapi konial Belanda pada waktu itu. Secara tidak langsung, tertanam nilai
aqidah dan rasa cinta kepada tanah air yang kuat dalam diri semua santri
Thawalib.
Apalagi
setelah PERMI dibubarkan dan pendiri-pendirinya dibuang ke Boven Digoel hampir
semua akivisnya terutama yang muda-muda terjun kebidang pendidikan dihampir
disemua desa se Sumatra Barat. Di Pariaman waktu itu terdapat tiga madrasah
yang terkenal, bukan saja karena bagus pelajaran agamanya, tetapi juga tinggi
semangat juangnya, yang pertama yaitu “Madrasah Thawalib Tepi Air Pariaman”
yang langsung dibawah pimpinan guru besar Engku H. Sutan Darab, yang kedua
madrasah “Thawalib Padusunan” yang dipimpin oleh seorang ulama briliant ex
pemuda PERMI yaitu Engku Husin dan yang ketiga madrasah “Al Manar” Kampung
Dalam Pariaman dibawah asuhan ulama muda ex PERMI juga yaitu Engku Abdur Rohim
Al Manafi.
Selain
itu ada juga sekolah sejenis itu seperti Chadijah School Kurai Taji dan sekolah
Upik Japang (Noerjanah) di Lubuk Alung. Madrasah Thawalib Pariaman yang
kemudian meningkat dengan sekolah sambungan Darul Maarif Pariaman adalah basis
yang merupakan markas dan tempat bekumpulnya pemuda-pemuda dan ulama-ulama muda
daerah Pariaman yang kemudian dengan semangat dan jiwa muda menyebar dan
mengembangkan sayap hampir disemua desa di daerah ini termasuk negeri
Padusunan.
Pada
madrasah Thawalib Padusunan, pendidikan agama berhubungan erat dengan
pendidikan pergerakan atau sebutlah pendidikan kebangsaan. Dua organisasi
pemuda mewarnai kehidupan Thawalib Padusunan yaitu PMDS (Persatuan Murid-Murid
Diniyah School) dan HPII serta dua organisasi kepanduan yaitu KIM (Kepanduan
Indonesia Muslim) dan El Hilal.
PMDS
sudah ada setahun sesudah Thawalib didirikan sedangkan HPII dua tahun kemudian.
Setiap hari jum’at khusus untuk pelajaran kursus pergerakan, beroganisasi dan
latihan berpidato. Pelajaran di sekolah dipraktekkan dalam pidato ini yang
dicobakan pula dengan semangat yang berapi-api meneladani cara guru berpidato.
Setiap hari besar umat Islam seperti Maulid dan Isra’ Mi’raj selalu dirayakan
secara besar-besaran dengan mengundang para guru-guru terkemuka daerah Minang
termasuk pimpinan pusat yang disebut pengurus besar dari PMDS dan HPII pria
ataupun wanita.
Di
Padusunan ini sebelum Thawalib berdiri sudah sering juga diadakan
perayaan-perayaan besar dengan mengundang ulama-ulama besar dari Padang Panjang,
Bukittinggi ataupun Payakumbuh. Panggung batu yang terletak di dapan sekolah
adalah panggung untuk perayaan-perayaan besar. Waktu H. Rasul Telur kembali
dari Mesir, seminggu lamanya perayaan keagamaan diadakan dengan mengundang
guru-guru agama terkemuka antara lain Dr. Karim Amrullah, H. Daud Rasyidi,
Inyiak Parabek, Syekh Abbas dan lain-lain.
Pembinaan
umat betul-betul hidup dan berjalan terpadu bukan saja dengan pidato-pidato dan
rapat-rapat umum, tetapi juga dengan bacaan-bacaan seperti majalah “Raya” dari
Islamic College Padang, brosure, buletin dan koran dari PMDS dan HPII serta
pelajaran rutin pada majelis ta’lim yang disebut “mingguan mangaji” sekali
seminggu yaitu malam untuk kaum bapak/ibu dan siang untuk wanita termasuk
anak-anak sekolah dan masyarakat sekitar. Kadang-kadang pelajar-pelajar kelas
tertinggi terjun ke kampung-kampung untuk memberi pelajaran atau berpidato atau
undangan desa yang bersangkutan. Menghadiri konferensi atau rapat-rapat
organisasi di kota (cabang organisasi) termasuk pembinaan umat yang tiada
taranya. Pokoknya pembinaan umat dizaman penjajahan betul-betul terarah dan
kontinue, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak muda.
Madrasah
dengan segala kelemahan dan kekurangannya mendidik para remaja hidup sederhana,
rendah hati tetapi tinggi cita-cita menjadi kader-kader umat yang tangguh,
mubaligh, ulama serta calon-calon sarjana yang mandiri. Adapun masalah dana
hampir tak dapat dipercaya bahwa madrasah dengan banyak fungsi dan kegiatannya
tetapi tidak mempunyai dana khusus kecuali gotong royong dan iuran dimana
perlunya. Keterbukaan dan keikut sertaan semua pihak disertai pengertian dan
kesadaran tinggi masyarakat benar-benar merupakan sumber dana yang tak pernah
kering. Semua rela berkorban dan bersedekah, baik pengurus sekolah, guru-guru,
murid-murid, orang tua murid bahkan masyarakat sekitar benar-benar ikhlas
berkarya dan bekerja tanpa pamrih.
Pada
tahun 1954 Thawalib Padusunan ini dipimpin oleh Zahar Shaleh yaitu anak dari
Pakiah Shaleh. Pada saat itu, program pelajaran yang diberikan yaitu dengan
menambahkan pelajaran umum di samping pelajaran agama yang telah dipelajari
sebalumnya, pelajaran tersebut antra lain seperti Ilmu Bumi, Ilmu Mantiq, Ushul
Fiqh, Ilmu Alam, dan Bahasa Inggris.
Pada
tahun 1955-1980 an murid thawalib ini sudah banyak yang berasal dari luar kota,
seperti dari Aceh, Pekan Baru, dan lain sebagainya. Setiap siswanya yang tamat
pada waktu itu dirayakan dengan meriah, bahkan ada orang dari Jakarta yang ikut
merayakannya. Masa-masa ini merupakan masa yang cukup maju dalam perjalanan
Thawalib Padusunan ini.
Setelah
sekian tahun berjalan Thawalib ini mengalami masa kemundurannya, yang
disebabkan oleh berbagai faktor. Pada tahun 1993 diadakan rapat untuk
membicarakan tentang kemunduran thawalib ini. Lalu dihasilkanlah sebuah
keputusan dengan mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Pendidikan
Islam Thawalib (YPIT) dengan pendirinya yaitu Mak Bugin Dt. Bandaro Putiah.
Sejak itulah thawalib ini mengalami kemunduran yang akhirnya dijadikan negeri pada
tahun 2006 dengan kepala sekolah pertamanya yaitu ibu Hakimah.[20]
2.
Hubungan Thawalib Padusunan Pariaman dengan Thawalib
Padang Panjang
Sebagaimana
yang diketahui, Thawalib Padang Panjang merupakan cikal bakal dari berdirinya
thawalib-thawalib yang ada di Sumatra Barat termasuk juga Thawalib Padusunan.
Thawalib Padang Panjang inilah yang menjadi pelopor berubahnya sistem pelajaran
halaqah menjadi sistem klasikal
(berkelas) yang menjadi contoh bagi thawalib-thawalib di Sumatra Barat.
Perubahan surau menjadi sekolah berkelas diawali dari Surau Jembatan Besi
Padang Panjang dibawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrulla yang menamakan
sekolahnya dengan Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Sebab itulah surau ini diakui sebagai perintis lahirnya perguruan Thawalib di
Sumatra Barat.
Menurut
pengakuan pewaris Thawalib yang tergabung dalam Yayasan Perguruan Thawalib
Padang Panjang, tahun 1911 dicatat sebagai tahun kelahiran perguruan Thawalib
Padang Panjang. Ini ditandai dengan kehadiran Syekh Abdul Karim Amrullah dan
Haji Rasul di Padang Panjang. Beliau mulai mengajar dan kemudian diserahi untuk
memimpin Surau Jembatan besi semenjak tahun 1911 itu. Dan semenjak itulah
gairah mengaji di Surau Jembatan Besi mulai bergelora, kemudian surau itu
berfungsi sebagai salah satu pusat gerakan kaum muda. Dari surau ini terpancar
gerakan sebagai pendorong kemajuan pendidikan, publikasi, tabligh-tabligh akbar
dan perdebatan-perdebatan umum dengan ulama-ulama pembela Islam tradisional dan
adat.
Walapun
demikian, perguruan Thawalib ini pada mulanya tetap berjalan dan dilaksanakan
secara tradisional atau sistem halaqah.
Murid-murid dan guru bersama-sama duduk di lantai dan membentuk lingkaran,
kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, murid-murid mendengarkan,
berusaha memahami dan menghafal apa yang telah didengar dari gurunya.
Perubahan
dan pembaharuan yang pertama-tama sekali dilaksanakan di surau ini ialah
menyelenggarakan pendidikan berkelas mulai tahun 1918. Murid-murid dibagi
menjadi 7 kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya atau tingkat kajinya.
Sebab itulah Perguruan Thawalib Padang Panjang berhasil menampilkan dirinya sebagai
Perguruan Islam Pelopor. Untuk daerah Sumatra Barat, ia menjadi percontohan dan
perangsang lahirnya perguruan Thawalib lain dan untuk luar daerah Sumatra
Barat, ia langsung memberikan tenaga-tenaga pendidik yang dihasilkannya untuk
mendirikan berbagai Perguruan Thawalib di luar Sumatra Barat.[21]
Sebagaimana
Haji Jalaluddin Thaib yang dikirim ke Aceh, Husein al-Husni murid Haji Rasul
yang dikirim ke Sungai Aur, daerah perbatasan Tapanuli, dan mendirikan
perguruan thawalib di sana. Kemudian Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur, dikirim ke
Kuala Simpang, Aceh, untuk mendirikan Sumatra Thawalib dan perguruannya.[22]
Hubungan
lain antara Thawalib Padusunan dengan Thawalib Padang Panjang ialah, sebelum
Thawalib Padusunan didirikan, Haji Rahman (salah seorang pendiri Thawalib
Padusunan) pernah pergi ke Padang Panjang lalu ia melihat surau yang didirikan
Mak Adam (murid Haji Rasul) dan gedung Diniah School Putri yang baru selesai
dibangun oleh Rahmah El-Yunusiah.
Waktu
Haji Rahman kembali ke Padusunan, ia langsung mengerahkan dana dan tenaganya
untuk membangun gedung sekolah. Maka berdirilah sekolah yang dinamakan
Perguruan Thawalib laki-laki dan Perguruan Thawalib perempuan di Padusunan ini.
Masing-masing dipimpin oleh Engku Bukhari dan Tuanku Hamid. Pakiah Saleh
membantu sebagai guru pada keduanya.
Kemudian
dalam perjalanannya, Thawalib Padusunan ini juga menjalin hubungan yang baik
dengan Thawalib Padang Panjang. Hal ini terbukti dengan seringnya ulama-ulama
dari Thawalib Padang Panjang diundang ke Thawalib Padusunan, baik dalam acara
peringatan maupun dalam hal pendidikan. Sewaktu Haji Rasul Telur kembali dari
Mesir seminggu lamanya perayaan kegamaan diadakan dengan mengundang guru-guru
agama terkemuka antara lain Syekh Abdul Karim Amrullah, Haji Daud Rasyidi,
Syekh Abbas dan lain-lain. Disini dapat kita lihat bahwa Thawalib Padusunan
menjalin hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lain yang ada di Sumatra
Barat, termasuk Thawalib Padang Panjang.
C.
Faktor Penunjang dan Penghambat Dalam Mengembangkan
Pendidikan
Diantara faktor
penunjang dan penghambat jalannya Perguruan Thawalib Padusunan ini adalah
sebagai berikut.
1.
Faktor Penunjang dalam Mengembangkan Pendidikan
a. Faktor penunjang pertama yang sangat
penting bagi pendirian thawalib ini yaitu adanya sumbangan dana dan tanah dari
seorang hartawan yang dermawan yaitunya Haji Rahman. Beliau merupakan seseorang
yang sangat dermawa dan juga peduli terhadap kemajuan pendidikan. Sumbangan
yang beliau berikan sangat bermanfaat bagi perkembangan thawalib ini, karena
bangunan thawalib ini berdiri di atas tanah beliau.
b. Adanya sumbangan dana dari para
masyarakat, donatur, maupun orang rantau, karena majunya sebuah pendidikan
tidak bisa terlepas dari sumber dana. Kalau tidak ada dana, maka sekolah ini
tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menggaji para guru dan
membeli fasilitas yang dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar. Dana diperoleh
dari iuran para murid, masyarakat, donatur-donatur dan masyarakat yang berada
di rantau.
c. Adanya murid, salah satu faktor
penunjang bagi berjalannya sebuah lembaga pendidikan ialah dengan adanya murid.
Jika tidak ada murid maka sebuah sekolah tidak akan bisa berdiri. Pada awal
berdirinya Thawalib ini memang tidak mempunyai murid yang banyak. Tapi sudah
sekian tahun berjalan, sekitar tahun 50-an murid-murid thawalib ini banyak yang
datang dari luar daerah, seperti dari Aceh, Riau, dan daerah-daerah
Minangkabau. Inilah salah satu faktor yang membuat thawalib ini berkembang
dengan baik.
d. Kemudian Perguruan Thawalib ini juga
didukung oleh tenaga pengajar yang cukup baik, yang berasal dari alumni,
ulama-ulama besar yang ada di daerah Pariaman, seperti Haji Rasul Telur, Tuanku
Husin, Zahar Saleh, Pakiah Saleh, dan lain-lain.
e. Terjalinnya hubungan yang baik dengan
thawalib-thawalib lain. Thawalib Padusunan menjalin hubungan yang baik dengan
thawalib-thawalib lainnya, hal ini terbukti sewaktu acara-acara perayaan besar,
Thawalib Padusunan mengundang berbagai ulama besar dari thawalib lain, seperti
Syekh Abdul Karim Amrullah, Haji Daun Rasyidi, Syekh Abbas dan lain-lain.
f. Terjalinnya hubungan yang baik antara
guru dengan murid. Kehidupan di asrama atau di Madrasah Thawalib Padusunan
sangat akrab, baik sesama murid atau antara murid dan para pengajar, bagaikan
orang tua dan anak-anaknya yang merupakan ciri khas Madrasah dibandingkan
dengan pendidikan umum lainnya.
2.
Faktor Penghambat Dalam Mengembangkan pendidikan
Adapun faktor penghambat jalannya Perguruan
Thawalib ini adalah sebagai berikut.
a. Kurangnya dana yang dimiliki untuk
kelangsungan pendidikan. Dana merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam mengembangkan sebuah lembaga pendidikan, tanpa adanya dana yang cukup
sekolah tidak akan berjalan dengan baik. Thawalib ini merupakan lembaga
pendidikan swasta, dana yang didapat hanya berasal dari iuran murid,
masyarakat, donatur, dan orang-orang rantau. Tidak ada dana tetap untuk
Thawalib ini, maka dengan sulitnya dana ini, Thawalib tidak bisa berjalan
dengan semestinya.
b. Kurangya minat masyarakat untuk
menyekolahkan anaknya di Thawalib ini. Ini merupakan salah satu faktor yang
membuat Thawalib ini mengalami kemunduran. Para orang tua murid kurang berminat
lagi masukkan anak mereka ke sekolah agama dan cenderung menyekolahkan anaknya
di sekolah umum.
c. Banyaknya berdiri sekolah-sekolah umum
di Kota Pariaman. Dengan banyaknya sekolah umum yang berdiri dan melihat bahwa
sekolah umum lebih bagus dari pada Thawalib, maka para masyarakat lebih
berminat menyekolahkan anaknya di sekolah umum dari pada di Thawalib. Sebab
itulah murid yang masuk ke Thawalib sudah mulai sedikit dan mengalami
kemunduran.
D.
Usaha Pimpinan Thawalib Padusunan Untuk Memajukan
Thawalib
Adapun usaha-usaha
yang dilakukan pimpinan Thawalib untuk memajukan Thawalib Padusunan adalah
sebagai berikut.
1. Mengusahakan dana-dana yang diperlukan
untuk Thawalib ini. Selain dana dari para orang tua murid, dana juga diusahakan
dari sumbangan masyarakat, donatur-donatur dan orang-orang Padusunan yang
tinggal di daerah rantau. Dari sinilah mereka mendapatkan dana untuk sekolah
ini, karena dana ini merupakan faktor yang sangat penting untuk menjalankan
sebuah pendidikan.
2. Mendatangkan tenaga pengajar yang cukup
ahli dalam bidangnya masing-masing. Tenaga pengajar yang baik akan mendukung
majunya sebuah lembaga pendidikan. Tenaga pengajar ini mereka datangkan dari
para alumni Thawalib ini sendiri dan dari ulama-ulama yang terkenal di daerah
Pariaman.
3. Meningkatkan mutu pelajaran di Thawalib,
salah satunya dengan cara manambahkan pelajaran-pelajaran ekstra selain dari
pelajaran wajib yang telah ada. Seperti belajar praktek pidato setiap hari
jum’at dan pelajaran tentang organisasi atau kepemimpinan.
4. Menjalin hubungan yang baik dengan
dengan thawalib-thawalib lain yang ada di Sumatra Barat. Dengan terjalinnya
hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lainnya, maka tidak tertutup
kemungkinan mendatangkan bantuan dari thawalib-thawalib tersebut.
5. Menjalin hubungan yang baik dengan
masyarakat setempat. Peran masyarakat sangat membatu dalam menjalankan sebuah
pendidikan, karena salah satu sumber dana yang diperoleh Thawalib Padusunan ini
yaitu sumbangan dari masyarakat.
E.
Analisis
Dari uraian yang telah penulis
paparkan di atas, kita dapat melihat bahwa Perguruan Thawalib Padusunan ini
telah mengalami fase perkembangan, kemajuan dan kemunduran. Dimana fase awal
Perguruan Thawalib Padusuan ini, berusaha untuk menjadi sebuah lembaga
pendidikan yang diakui keberadaannya dan juga ikut berperan serta dalam
memajukan pendidikan di daerah Pariaman khususnnya dan nasional pada umumnya.
Namun pada dekade delapan puluhan, Perguruan Thawalib ini mengalami kemunduran
sampai berubah statusnya manjadi MTsN.
Pariaman merupakan daerah yang
terkenal dengan tarekatnya yang kental. Kehadiran lembaga pendidikan thawalib
ini dipelopori oleh ide-ide pembaharu dari kaum muda. Ini merupakan suatu
tantangan yang dihadapi dalam pendirian thawalib ini. Pada awalnya masyarakat
tidak menerima kehadiran thawalib ini secara mudah. Masyarakat merasa asing
dengan kehadiran thawalib ini, karena sistem belajarnya yang jauh berbeda
dengan sistem belajar di surau. Di surau mereka mengaji dengan mendengarkan
guru membacakan kitab, duduk melingkar atau disebut juga dengan halaqah. Setelah kehadiran thawalib ini
yang awalnya mereka belajar berhalaqah, berubah menjadi berkelas, memakai
bangku, meja, papan tulis, dan buku-buku pelajaran. Masyarakat menganggap
sistem pelajaran secara klasikal ini merupakan sistem pelejaran gaya barat dan
tidak cocok untuk masyarakat kita. Masalah ini baru teratasi setelah Haji Rasul
Telur pulang belajar dari Mesir. Beliua lah yang memberikan pencerahan kepada
masyarakat tentang pentingnya pembaharuan dalam bidang pendidikan. Beliua mengadakan
seminar dan mengundang ulama-ulama besar di Sumatra Barat pada waktu itu.
Setelah itu lah masyarakat baru bisa manerima atas kehadiran lembaga pendidikan
thawalib ini.
Masa perkembangan Thawalib
Padusunan ini berlangsung sekitar tahun 1954 yang waktu itu dipimpin oleh Zahar
Shaleh yaitu anak dari Pakiah Shaleh. Pada saat itu, pelajaran yang diberikan
yaitu sudah banyak yang ditambah dengan pelajaran umum di samping pelajaran
agama yang telah dipelajari sebalumnya, pelajaran tersebut antra lain seperti
Ilmu Bumi, Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Ilmu Alam, dan Bahasa Inggris.
Pada tahun 1955-1980-an murid
Thawalib ini sudah banyak yang berasal dari luar kota, seperti dari Aceh, Pekan
Baru, dan lain sebagainya. Setiap siswanya yang tamat pada waktu itu dirayakan
dengan meriah, bahkan ada orang dari Jakarta yang ikut merayakannya. Masa-masa
ini merupakan masa yang cukup maju dalam perjalanan Thawalib Padusunan ini.
Selain itu Thawalib juga merupakan
pusat dan basis perjuangan umat Islam di Sumatra Barat khususnya daerah
Padusunan. Thawalib juga dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang
dimanfaatkan untuk penyebaran, pelestarian dan mempelajari hukum-hukum agama
Islam. Selain sebagai pusat penyebaran dan pelajaran agama Islam, Thawalib juga
berfungsi sebagai tempat membina dan menghasilkan tenaga-tenaga muda atau
ulama-ulama muda bagi pengembangan dan penyiaran agama Islam.
Perguruan Thawalib ini mengalami
kemunduran, tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkannya, seperti yang telah
penulis paparkan dalam poin-poin terdahulu. Disebabkan satusnya yang tidak
Negeri, Thawalib ini susah mendapatkan dana untuk melangsungkan pendidikan.
Tidak ada dana tetap untuk Thawalib ini, dana yang didapat hanya di harapkan
dari iuran-iuran dan para donatur. Tentunya dana yang diharapkan itu tidak
tetap jumlahnya, terkadang cukup bahkan terkadang kurang untuk melangsungkan
pendidikan. Dana ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
menjalakan sebuah pendidikan, tanpa dana yang cukup sebuah lembaga pedidikan
tidak bisa berjalan dengan baik, karena dalam melangsungkan sebuah pendidikan
membutuh sarana dan parasarana untuk proses belajar mengajar dan itu
membutuhkan dana untuk mendapatkan.
Kemudian yang menyebabkan Thawalib
Padusunan ini juga mengalami kemunduran, disebabkan para masyarakat kurang
berminat lagi untuk mnyekolahkan anak mereka di Thawalib ini. Masyarakat lebih
berminat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum. Mereka
menganggap sekolah umum lebih bagus dari pada thawalib karena status sekolah
umum sudah negeri dan mendapat perhatian dari pemerintah. Makanya setelah
sekolah umum banyak berdiri Thawalib ini banyak mengalami kemunduran, karena
muridnya semakin lama semakin sedikit.
[1] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 81
[2] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 82
[3] Ibid,
Burhanuddin
Daya, hal. 82
[4] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 83
[5] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 84
[6] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 85
[7] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 86
[8] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 86
[9] Ibid
Burhanuddin
Daya, hal. 88
[10] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 89
[11] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 90
[12] Ibid Burhanuddin
Daya, hal. 91
[13] Ibid
Burhanuddin
Daya, hal. 93
[14]
Aisyah Dahlan. Thawalib School Padusunan. Arsip. 1930-1985.
[15] Amir
Hosen dt. Bandaro Putiah, Ketua KAN Padusunan, Jati Pariaman, Wawancara, 3-11-2012
[16] Ibid,
Burhanuddin
Daya, hal. 145
[17] Ibid, Burhanuddin Daya, hal.
144
[18] Amir Hosen dt.
Bandaro Putiah, Ketua KAN Padusunan, Jati Pariaman, Wawancara, 3-11-2012
[19] Ibid,
Burhanuddin
Daya, hal. 144-145
[20] H.
Rahamah, Alumni Thawalib Padusunan, Kampung Baru Padusunan Pariman, Wawancara, 3-11-2012.
[21] Ibid,
Burhanuddin
Daya, hal. 113
[22] Ibid, Burhanuddin Daya, hal.
123