Perspektif yang terdapat pada psikologi sosial antara lain, perspektif perilaku, kognitif, struktural, dan interaksional. untuk lebih mendalam kita uraikan satu persatu.
1. Perspektif Perilaku
(Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh
John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat
perhatian dalam psikologi di antara
tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan
agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif
dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang
memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi
instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik",
"mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif
maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang
dikatakan (sayings) dan apa yang
dilakukan (doings)". Dalam hal
ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya
bahwa proses mental dan juga
perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para "behaviorist" memasukan perilaku
ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses), dan lingkungan ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham
perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama
lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan
misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman
yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan
tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada
dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme
tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak
hitam (black-box)" . Rangsangan
masuk ke sebuah kotak (box) dan
menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - srtuktur internal atau proses mental
yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara
langsung (not directly observable),
bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974)
membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud
dengan "operant condition"
adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara
tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut.
Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara
umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam
kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud
dengan "reinforcement"
adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa
datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing
(yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita,
maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing
maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa
bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh
penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang
asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan
menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing
kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat
teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena
sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori
antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil
Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa
peniruan (imitation) di antara
manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian
kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita
belajar (learn) meniru perilaku
orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja
karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan
"social learning " -
"pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah
memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh
hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti
aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu
harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika
melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak
melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard
menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang
dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga
dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya.
Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan
tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang
berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih
suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan
imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui
pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain
tertentu, karena kita mendapatkan
imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga
dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura
dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan
Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters
menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita
terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap
perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses
belajar semacam ini disebut "observational
learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan
Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai
perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model,
misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan
agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia
mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan
pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu
dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka
teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita
dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational
learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap
informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi
lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement)
dan observational opportunity -
kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori
pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley
(1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau
(1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan
orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain
hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi
kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial,
teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal).
Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan
orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan
merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal
yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan.
Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,
persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat
merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans
dalam bukunya "Elementary Forms of
Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya
berbunyi :"Semua tindakan yang
dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh
imbalan, makin cenderung orang
tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini secara
eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika
ada imbalannya. Proposisi lain yang
juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi :
"Makin tinggi nilai hasil suatu
perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut
diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial
adalah "distributive justice"
- aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi.
Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi " seseorang dalam hubungan pertukaran
dengan orang lain akan mengharapkan imbalan
yang diterima oleh setiap pihak sebanding
dengan pengorbanan yang telah
dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap
pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi,
makin tinggi keuntungan".
Inti dari teori pembelajaran sosial dan
pertukaran sosial adalah perilaku sosial
seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh
proses mentalistik (black-box). Semua
teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara
perilaku yang teramati dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa
kebiasaan (habit) merupakan
penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial
seseorang di samping instink (instinct).
Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut
(kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem
- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897)
menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada
kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang
perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog
Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan
perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial
menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental
atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki
mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya
sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial
individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku.
Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory),
dan Teori Kognisi Kontemporer.
a. Teori Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936)
mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang
kehidupan" - life space. Untuk
memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog
memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan),
bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun
Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang
perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia
merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran,
impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang
kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi
yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" merupakan
juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang.
Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa
lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu
situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku
seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana
perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan
bagaimana situasi yang ada (field) di
sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip
dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa
eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama
lainnya. Misalnya, kalau kita melihat
bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu
persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak
bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut
berada.
b. Teori Atribusi dan
Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency
and Attribution Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang
psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap
kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak
seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap
kita tersebut konsisten atau seimbang (balance).
Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga
orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi
tidak seimbang (imbalance). Akibatnya
kita merasa tertekan (stress), kurang
nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan
orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak
sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi
lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang
lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih
nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir
pikiran-pikiran kita dalam kerangka
"sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan
mencocokannya dengan orang-orang di
sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku
kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan tentang penyebab
suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari
sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita
mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis
penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan
kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
c. Teori Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi,
sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan
untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan.
Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif
menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara
aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang
diberi istilah "schema"
(Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991).
Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita
miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan
lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan
yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung
jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan
pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke
dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa
memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang
bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan
eksternal belum mencukupi.
3. Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi
perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial
seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji
sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik
mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William
James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi
mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok -
yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial . Para sosiolog yakin
bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara
yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku
yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses
sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial
yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas
"diri" (self) - perasaan
kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
Sosiolog lain Robert Park dari
Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan,
mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita
menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru,
mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita
tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang
melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)
a.
Teori
Peran (Role Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat
atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert
Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan
interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan
apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan
peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran
tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya,
diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut.
Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi
karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang
kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen
Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang
dinamakan “life-course” memaknakan
bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai
perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan
menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta
pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun,
mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh
tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya
pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima
tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke
dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap
masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
b.
Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger
dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori
peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh
masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini,
anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan
diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan
mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara
anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh
terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan
ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan
informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan
bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus
mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis
kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut
pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin,
jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia,
untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.
Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”;
karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara
pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi
karakteristik status tersebut ( jenis
kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap interaksi sosial.
c.
Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan
perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat
kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada
dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan
reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan
bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan
individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin,
1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya
kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat,
menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita
campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul
bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini
mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang
sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh
seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan
juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra
komersial yang mampu mengurangi
keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu
dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya
mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita
sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan
seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat
kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja
Indonesia terhadap musik “rap” tidak
lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik
tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik
“rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”,
dia bukan remaja. Perilaku seseorang
ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan
oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah
manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan,
dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan
masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini,
struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat –
sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual.
Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan
struktur sosial yang menekannya.
4.
Perspektif Interaksional (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George
Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat
Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan
kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal
dengan nama budaya. Dalam waktu yang
bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi
berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga
memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda
dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun
dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh
lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita
sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan
lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita
sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal
tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan
yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus
dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia
menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal
untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas
dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya
dengan nama “social behaviorism”.
Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas
yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic
Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
a.
Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa
memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat
khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara
gerak-isyarat (gesture) tertentu dan
maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam
terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak
yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang
mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata
dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang
bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu
berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi
oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain
tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan,
pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan
orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini
mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar
tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing
pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik.
Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi
tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil
memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi
berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak
signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang
tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara
tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa
berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan
memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan
pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan
perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
b.
Teori Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini
memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih
besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi
dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif
struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik
terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas
individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan
konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita
tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan
diri orang lain, yang oleh Stryker
dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki
banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi
dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu
sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun
harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya
pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat
untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud
dengan perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya
kepada pendekatan psikologi sosial.
Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik
dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan lingkungan
yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif
kognitif menjelaskan perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada
bagaimana kita menyusun mental (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang
datangnya dari lingkungan . Kedua perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh
para psikolog sosial yang berlatar belakang psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang
sebagian besarnya diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang
sosiologi. Perspektif struktural
memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku
kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang
oleh masyarakat kita. Perspektif
interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses interaksi yang
mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua perspektif
terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap
pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial
(makro) sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum
interaksionis lebih memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam
membentuk perilakunya sendiri.
Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku
sosial maka seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?”
atau “teori mana yang terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab
bahwa tidak ada teori yang salah atau yang paling baik, atau paling jelek.
Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam aplikasinya. Misalnya dalam
mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para behavioris bisa
memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya perilaku agresif –
pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi perlakuan
positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka
obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan
berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin
menggunakan teori medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat
hubungan antara karakteristik individu dengan situasi di mana perilaku agresif
tersebut ditampilkan. Para teoritisi pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial
terhadap individu yang menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata
teori peran, perilaku agresif atau tidak agresif ditampilkan oleh seseorang
karena harapan-harapan sosial yang melekat pada posisi sosialnya harus
dipenuhi.
Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang
efektif tidak untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk
menjelaskan perilaku X dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif,
misalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar