Kamis, 29 Oktober 2015

THAWALIB PADUSUNAN PARIAMAN



THAWALIB PADUSUNAN PARIAMAN
A.    Latar Belakang Berdirinya Thawalib Padusunan Pariaman
Sebelum Perguruan Thawalib Padusunan didirikan, pada mulanya perguruan Thawalib lahir di daerah Padang Panjang pada tahun 1911. Dari sinilah cikal bakal lahirnya Perguruan Thawalib yang ada di seluruh Sumatra Barat, termasuk Perguruan Thawalib Padusunan Pariaman. Sebelum menjadi perguruan thawalib, di Padang Panjang sudah lahir sebuah sekolah bernama Sumatera Thawalib yang berasal dari “Surau Jembatan Besi”. Di Surau Jembatan Besi ini orang banyak belajar ilmu agama, cara belajarnya dengan menggunakan sistem halaqah yaitu belajar dengan mengelilingi guru. Kemudian dari surau ini pula terjadi pembaharuan sistem pendidikan menjadi klasikal yaitu cara belajarnya sudah mulai modern dengan menggunakan bangku, meja dan papan tulis. Surau Jembatan Besi, Padang Panjang adalah awal pangkal sejarah Sumatra Thawalib atau Sumatra Thawalib dahulunya adalah Surau Jembatan Besi.
Pada waktu Padang Panjang baru menjelma menjadi kota dalam status, tetapi belum berbentuk fisik, karena daerahnya masih berupa semak belukar, sawah dan ladang. Di sini sudah terdapat juga beberapa surau, terutama di daerah yang padat penduduknya, seperti Batipuh dan Sepuluh Koto. Surau-surau ini melaksanakan fungsi tradisionalnya sesuai dengan fungsi surau pada waktu itu. Begitu juga Surau Jembatan Besi, mulai berdiri sampai melahirkan Sumatra Thawalib, tidak berbeda dengan surau-surau lainnya. Haji M.D. Datuk Palimokayo pernah menyatakan, bahwa pengajian Surau Jembatan Besi sudah berjalan lama sebelum tahun 1900. Tuangkunya yang pertama adalah Syekh Abdullah. Sistem yang dipakai sama dengan sistem pangajian yang terdapat di surau-surau lainnya, yaitu sistem halaqah. Mahmud Yunus mengatakan bahwa surau ini didirikan oleh Haji Rasul pada tahun 1914.[1]
Abdullah Ahmad kembali dari Mekkah pada tahun 1899. Setibanya di kampung, Padang Panjang, ia langsung mengajar di Surau Jembatan Besi. Ini berarti Surau Jembatan Besi sudah berdiri pada waktu itu. Menurut Hamka, surau ini adalah milik Abdullah Ahmad. Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mulai ikut serta memberi pelajaran agama di surau ini semenjak sekitar tahun 1904, sepulang mereka dari Mekkah. Zainuddin Labai mulai ikut belajar mengaji di surau ini sejak tahu 1913.[2]
Abdullah Ahmad memanfaatkan surau ini untuk mengabdikan ilmu dan pikirannya secara tekun, bertindak sebagai tuangku yang mendidik anak-anak, baik yang berasal dari lingkungan surau, maupun yang datang dari luar daerah. Nama Abdullah Ahmad yang baru pulang dari haji itu mulai harum. Surau inilah yang kemudian bernama Surau Jembatan Besi, setelah jembatan kayu yang menghubungkan antara dua tepi sungai kecil yang mengalir di tepi sungai itu diganti dengan besi. Dan sekarang Surau Jembatan Besi sudah menjadi sebuah mesjid berbeton, permanen dan di beri nama Mesjid Zu’ama (mesjid para pemimpin).
Abdullah Ahmad melanjutkan pemberian pendidikan di suraunya itu dengan tetap mengikuti tradisi, tidak mengubah, menambah atau menguranginya. Beliau dibantu oleh kakak beradik Syekh Abdul Latif dan Syekh Daud Rasyidi. Akhirnya Abdullah Ahmad menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab dan pengelolaan pengajian di surau ini kepada kedua pembantunya itu.
Pada tahun 1907 haji Abdullah Ahmad mendirikan sekolah agama pertama untuk Indonesia di Padang Panjang, yaitu Adabiah School. Penamaan ini mungkin sekali dimaksudkan sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan, penunjang peradaban Islam lewat jenjang pendidikan bagi Sumatra Barat. Sekolah ini diaturnya berkelas, belajar dan mengajar dilaksanakan dengan memakai bangku, meja, papan tulis dan buku-buku. Materi pelajaran pokok terdiri dari pelajaran-pelajaran agama Islam seperti yang terdapat di surau-surau ditambah pengetahuan umum seperti membaca, menulis, dan berhitung.[3]
Karena sifatnya yang berbeda sama sekali dari pendidikan surau, maka ia mendapat reaksi dan tantangan yang keras dari masyarakat. Reaksi dan oposisi demikian sengitnya, sehingga Abdullah Ahmad menemui kesulitan untuk mengembangkannya lebih lanjut. Setelah dua tahun digumulinya, akhirnya ditinggalkannya pekerjaannya yang masih terbengkalai itu. Pada tahun 1909 sekolah ini ditutup dan ia pindah ke Padang, kota pantai yang penduduknya lebih dinamis, berpikir liberal dan luas hubungannya dengan dunia luar. Di kota ini ia mendirikan Adabiah School yang kedua, sebuah sekolah umum yang ditambah pelajaran agama (wajib).
Tujuan Abdullah Ahmad mendirikan sekolahnya ini adalah untuk membentuk manusia yang cerdas, berkebangsaan dan bertaqwa kepada Allah swt. Adabiah ini tentu lebih sempurna dari pada yang di Padang Panjang, karena disamping sudah berpengalaman, Abdullah Ahmad juga sudah mengadakan peninjauan ke sekolah agama atau Madrasah al-Iqlab al-Islamiah di Singapura yang didirikan Utsman Efendi Rafat dari Mesir pada tahun 1908. Sekolah ini banyak mencontoh rencana pelajaran yang berkembang di Mesir dan dunia barat. Murid-muridnya berasal dari anak Melayu asli, baik anak kota maupun anak desa. Mereka yang tamat dari madrasah inilah yang nantinya tampil menjadi pelopor berbagai organisasi Islam di seluruh Semenanjung Tanah Melayu dan berperan secara efektif menjadi agen pemisah antara paham kelompok pembaharu dan kelompok lama yang enggan menerima segala bentuk perubahan.
Selain kunjungan Abdullah Ahmad ke sekolah ini, yang mungkin belum banyak artinya waktu itu, karena baru satu tahun berdiri, ia juga banyak mengadakan pembicaraan dengan Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Syekh inilah yang banyak memberikan motivasi dan pengarahan kepadanya tentang corak pendidikan Islam yang seharusnya dibina, yaitu menurut ukuran dan acuan yang ada di Mesir.
Untuk menandingi sekolah-sekolah umum terutama HIS, Adabiah dihidupkan dengan mengadopsi secara mutlak sistem dan metode pendidikan Belanda. Bedanya hanyalah di sekolah ini diajarkan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib. Lebih jauh dari itu, namanya pun pada tahun 1915 diubah menjadi Hollandsch Maleische School Adabiah atau Hollandsh Inlandsche School Adabiah disingkat HMS Adabiah atau HIS Adabiah. Maka ada yang berpendapat, bahwa Abdullah Ahmad itu sebenarnya adalah Hollandisator. Pada tahun perubahan namanya ini pula ia mulai diberi subsidi oleh pemerintah kolonial yang berupa dana dan tenaga guru yaitu tiga orang Belanda, seorang sebagai kepala sekolah dan dua orang lagi sebagai guru biasa. Setelah Adabiah School, lahirlah school-school yang lain.[4]
Pada tahun 1910 Syekh Muhammad Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Sungayang yang memberikan pengajian tentang kitab-kitab menurut sistem halaqah.  Akan tetapi tahun1913 sekolah ini terpaksa ditutup karena kekurangan tenaga guru. Tahun 1918 sekolah tersebut dihidupkan kembali oleh Mahmud Yunus.
Pada tahun 1915, Zainuddin Labai mendirikan Diniah School di Padang Panjang, sebuah sekolah agama plus pendidikan umum, kebalikan dari Adabiah Padang. Sekolah ini masih bertempat di surau atau di mesjid, tetapi diselenggarakan dengan sistem dan metode pendidikan umum, berkelas, berbangku, berpapan tulis dan berbuku. Sekolah ini dibaginya dua: tingkat dasar dan tingkat menengah atau ibtidaiyah dan tsanawiyah, masing-masing belajar selama tiga dan empat tahun. Pertama dibuka, sekolah ini telah mempunyai 150 orang murid laki-laki dan perempuan, tetapi tempatnya terpisah. Murid laki-laki ditempatkan di serambi mesjid sebelah kiri, diajar Engku Haji Mahmud dan Haji Saleh, mjurid wanita di serambi sebelah kanan, di ajar sendiri oleh Engku Zainuddin Labai.
Melihat kondisi sekolah ini yang sangat sederhana, Asisten Residen pernah menawarkan subsidi seperti yang diberikan kepada Adabiah, tetapi Tuan Labai menolaknya.
HIS Adabiah Padang dan Diniah School Padang Panjang dapat dianggap sebagai pelopor pola pendidikan nasional Indonesia. Yang pertama, sebagai lembaga pendidikan umum plus agama dan yang kedua, sebagai lembaga pendidikan agama plus umum. Satu pola kombinasi pendidikan yang harmonis, cocok sekali kelihatannya dengan yang sekarang. Diniah School mempunyai sifat-sifat yang khusus, mulai dengan murid laki-laki dan perempuan, segala umur, anak-anak samapai yang sudah berkeluarga. Kaum wanita tidak dianjurkan untuk masuk, tetapi juga tidak ditolak kalau ingin mendaftarkan diri menjadi murid. Pendidikan dilaksanakan secara klasikal langsung. Pakaian murid laki-laki: celana, kemeja, dasi dan tanpa kopiah. Murid perempuan, bebas asala sopan dan bersih. Pakaian ala barat ini haram hukumnya menurut pandangan masyarakat pada waktu itu.[5]
Murid putri yang pertama Diniah School, Encik Rahmah El-Yunisiah, berhasil pula mendirikan dan membina satu lembaga pendidikan khusus bagi kaum wanita, Diniah School Putri.
Kelahiran school-school ini dapat dipandang sebagai pegaruh dari dan sekaligus tandingan bagi Volkschool yang didirikan pemerintah untuk seluruh lapisan anak-anak pribumi, tanpa membedakan status orang tua mereka. Volkschool yang dikenal juga dengan sekolah desa ini cepat sekali berkembangnya. Tahun 1915 sudah terdapat 358 buah sekolah jenis ini di Sumatra Barat.
Pertumbuhan ini mempengaruhi masyarakat, murid-murid yang mengaji di surau mulai berkurang. Oleh sebab itu guru-guru terekat menentang perkembangan sekolah desa ini, yang dinamakan mereka dengan Sekolah Dosa, karena didirikan oleh kaum kafir yaitu pemerintah kolonial Belanda. Sebelumnya, guru-guru tarekat memang mempunyai banyak murid, setiap surau ada sekitar 500 sampai 1000 orang muridnya. Setelah “Sekolah Dosa ” dikutuk maka surau ramai lagi dan tumbuh dengan pesat. Gubernur Sumatra Barat, W.A.C. Whitlaw mengakui bahwa Sekolah Desa sejak semula sudah ditentang dan dikutuk oleh guru-guru tarekat.
Untuk mengelola Surau Jembatan Besi, Abdullah Ahmad dibantu oleh Syekh Abdul Latif dan Syekh Daud Rasyidi. Sewaktu Abdullah Ahmad meninggalkan Padang Panjang, kedudukannya sebagai penanggung jawab dan guru mengaji di surau ini di serahkan sepenuhnya kepada Syekh Daud Rasyidi. Padang Panjang ketika itu sudah ramai didatangi orang dari luar untuk mempelajari ilmu agama Islam, mengimbangi Bukittinggi yang sudah sejak lama menjadi pusat pendidikan umum karena Kweekschoolnya.
Syekh Daud Rasyidi mulai mengembangkan pendidikan dan pengajaran Islam. Ia bukan saja mengajar orang mengaji, tetapi juga mengajar orang bermasyarakat dan memimpin jamaah, khususnya masyarakat Padang Panjang yang sudah diramaikan juga oleh kegiatan dagang.[6]
Pada tahun 1906, Haji Abdul Karim Amrullah atau terkenal dengan Haji Rasul, pulang dari Mekkah. Pada mulanya ia menetap dan mengajar ngaji di suraunya di Maninjau, kampungnya sendiri. Pada waktu itu Daud Rasyidi pergi ke Maninjau, berguru kepada Haji Rasul. Selama hampir dua tahun ia bolak-balik antara Padang Panjang-Maninjau, mengajar dan belajar, akhirnya ia berangkat ke Mekkah dan pimpinan surau Jembatan Besi diserahkan kepada kakaknya Abdul Latif sampai akhir hayatnya.
Sementara itu Haji Rasul sendiri diminta oleh Abdulla Ahmad untuk membantu memajukan pengajian surau Jembatan Besi dengan cara bolak-balik ke Padang Panjang dari Maninjau. Walaupun kesibukannya di Maninjau cukup padat, karena disamping mengajar mengaji, dia juga sudah mulai menghadapi kekuasaan kaum adat, namun permintaan rekannya diatas dipenuhinya juga. Tidak berapa lama berulang antara Maninjau-Padang Panjang, karena Abdullah Ahmad sudah mulai berhasil di Padang, maka Haji Rasul diminta beliau pula untuk pindah ke Padang, ke kota yang lebih ramai, dimana Haji Rasul yang telah semakin harum namanya karena ketinggian ilmu dan kajinya, dapat lebih cepat berkembang dan lebih besar peranannya.
Permintaan ini pun dipenuhi Haji Rasul dan ia pindah ke Padang mengajar bersama Abdullah Ahmad dan mengasuh majalah Al-Munir. Sementara itu tugas bolak-balik ke Padang Panjang tetapi dilakukannya, tetapi sekarang bukan dari Maninjau ke Padang Panjang lagi, melainkan antara Padang dan Padang Panjang. Bersama Abdul Latif, pengajian surau Jembatan Besi semakin ditingkatkannya. Sewaktu Haji Abdul Latif meninggal dunia, selutuh umat Islam Padang Panjang sepakat untuk meminta Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin surau Jembatan Besi. Atas restu Abdullah Ahmad, harapan masyarakat ini dikabulkannya dan mulai 1912, ia menetap di Padang Panjang, sekaligus menjadi pemimpin tunggal surau Jembatan Besi.
Setelah Haji Rasul menetap di Padang Panjang dan memimpin surau Jembatan Besi, bertambah ramailah anak-anak yang datang dari seluruh Sumtra Barat untuk mengaji ke surau ini. Dalam beberapa tahun saja setelah itu, surau Jembatan Besi sudah menjadi pusat pengajian besar.
Nama Haji Rasul semakin harum dan semakin tersebar luas, baik sekitar wilayah Minagkabau maupun di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi pusat jala pumpunan ikan bagi bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Sistem pendidikannya masih tetap tidak berubah, tetapi isi pengajiannya sudah dikembangkan. Kepada murid-murid yang ditanamkan semangat baru, yaitu semangat berdiskusi, berpikir bebas, membaca, memahami dan berkumpul atau berorganisasi. Kitab-kitab mulai dibaca dan didiskusikan, murid boleh bertanya dan mendebat.[7]
Disisi lain kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, politik dan  keagamaan sedang mengalami perubahan-perubahan pula. Perjuangan dan pergerakan nasional mulai gencar diayunkan ke seluruh nusantara. Ini diawali dengan berdirinya berbagai organisasi seperti: Jami’atul Khair, Budi Utomo, Serikat Islam, Muhamdiyah, Partai Komunis Indonesia, Nahdatul Ulama, Partai Nasional Indonesia dan lain-lain.
Pemikiran ke arah berorganisasi semakin berkembang. Pada tahun 1914, Abdullah Ahmad mendirikan organisasi Vereeneging Sarekat Usaha di Padang. Pada tahun 1915 Bagindo Jamaluddin Rasyad dan kawan-kawannya mengadakan pertemuan atau rapat umum terbuka di gedung bioskop Pasar Usang, Padang Panjang. Pertemuan umum ini merupakan yang pertama bagi organisasi Kombinasi Minangkabau yang didirikan Rasyad sendiri bebarapa waktu sebelumnya.
Pada waktu itu Rasyad baru saja kembali dari perjalannya mengunjungi beberapa negara Eropa. Walaupun ia bbukan seorang tuangku atau tokoh agama, namun karena pertemuan itu akan diisi oleh ceramah Rasyad tentang pengalamannya melihat kemajuan Eropa, banyak orang yang ingin mendengarnya, termasuk anak-anak mengaji surau Jembatan Besi asuhan Haji Rasul.
Isi ceramah Rasyad sebagai oleh-oleh dari Eropa, disamping cerita mengenai kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan yang telah dicapai di Eropa, dia juga menekankan pentingnya berorganisasi. Menurutnya Eropa telah mempunyai kesadaran yang sangat tinggi dalam berorganisasi. Dengan berorganisasi, segala sesuatu akan mudah dicapai. Sebaliknya usaha yang bersifat perseorangan, tidak terorganisir, pasti akan berkesudahan dengan kegagalan.
Sementara Rasyad menjelaskan bagaimana pentingnya organisasi, murid-murid surau Jembatan Besi khususnya, tertarik dengan penampilan Rasyad, terutama karena ia tidak memakai kopiah atau peci dalam pertemuan itu. Mereka tahu bahwa Rasyad adalah seorang muslim, putra Minangkabau kelahiran Pariaman. Pada waktu itu masih ketat ketentuannya, bahwa setiap laki-laki muslim harus memakai peci untuk membedakannya dengan laki-laki yang bukan muslim. Maka mereka heran, mengapa Rasyad sebagai seorang pemuda muslim berani tidak memakai kopiah di muka umum.
Dibawah ajakan Haji Habib, salah seorang murid surau Jembatan Besi, berkumpulah sebagian murid yang hadir dalam pertemuan dengan Rasyad itu. Umumnya mereka terdiri dari murid-murid yang sudah lanjut kajinya, jadi sudah termasuk senior. Dalam pertemuan terbatas itu mereka diskusikan dua hal penting, yaitu tidak memakai peci dan organisasi.[8]
Masalah tidak memakai peci disepakati agar hal itu dimintakan fatwa langsung dari guru, yaitu Haji Rasul. Haji Rasul menyatakan bahwa orang boleh tidak memakai kopiah. Tentang organisasi disepakati untuk membentuknya. Nama yang dipilih untuk organisasi ini adalah Persaiyoan. Tujuan pokoknya ditetapkan untuk membantu dan mempermudah murid medapatkan keperluan harian mereka dengan harga yang ringan dan longgar pembayarannya. Dengan demikian terbentuklah organisasi murid yang bergerak dalam bidang lapangan sosial ekonomi. Barang-barang pokok yang disediakan adalah sabun mandi dan sabun cuci yang sangat banyak diperlukan, kemudian dilengkapi juga dengan buku tulis, pensil dan keperluan lainnya, sehingga Persaiyoan dikenal juga dengan Perkumpulan Sabun.
Setelah perkumpulan ini langsung dapat dirasakan manfaatnya, tahun 1917 Hasyim, murid surau Jembatan Besi yang berasal dari Tapak Tuan Aceh, berusaha mengembangkannya. Atas bantuannya semua keperluan murid seperti disebut diatas, ditambah dengan pelayanan gunting rambut, menjahit pakaian, cuci dan setrika, keperluan dapur dan kebutuhan harian lainnya berhasil disediakan dan dilayani. Dengan ini murid merasa tertolong, karena umumnya mereka berasal dari luar kota Padang Panjang. Mereka adalah anak-anak yang kaya dengan kemauan dan ingin maju lantaran dorongan cinta ilmu agama, akan tetapi miskin harta serta kurang biaya.
Laporan asisten residen Sumatra Barat mengenai gerakan politik agama di Sumatra Barat menyatakan, bahwa Haji Habib pada tahun 1916 membentuk suatu perkumpulan murid-murid Haji Rasul Padang Panjang dengan nama Thuwailib. Datuk Palimokayo tidak sepakat dengan. Menurutnya Persaiyoan dan perkumpulan Sabun itulah nama asli perkumpulan murid itu. Pada tahun 1918 baru diubah manjadi Thuwailib.[9]
Pada tanggal 9 Desember 1917, pelajar-pelajar yang berasal dari Sumatra Barat mendirikan Jong Sumatranen Bond di Batavia. Tujuannya adalah mempererat hubungan antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Dipimpin oleh M. Hatta dan M. Yamin. Organisasi inipun cepat diterima di Sumatra Barat, karena tidak berapa lama setelah berdiri, cabangnya sudah ada di Bukittinggi dan Padang. Berhubung murid Surau Jembatan Besi sebagian besar berasal dari luar Padang Panjang dan bahkan banyak pula yang datang dari wilayah-wilayah lain di Pulau Sumatra, maka Zainuddin Labai dan Jalaluddin Thaib mengubah nama Thuwailib menjadi Sumatra Thuwailib. Begitu juga pengajian Surau Jembatan Besi sekaligus disesuiakan namanya menjadi Sumatra Thuwailib dan ditempatkan di bawah pengawasan dsatu pengurus sekolah yang anggota-anggotanya terdiri dari tamatan Surau Jembatan Besi.
Keadaan seperti yang terurai diatas merangsang masyarakat surau berlomba-lomba mendirikan organisasi agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Di desa Parabek dekat Bukittinggi, pada tahun 1908 Ibrahim Musa mendirikan sebuah surau yang kemudian dikenal dengan nama surau Parabek. Waktu itu Ibrahim Musa baru saja kembali dari menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekkah. Surau ini cepat terkenal karena Ibrahim Musa yang menjadi gurunya sendiri dianggap telah memiliki ilmu yang luas tentang agama Islam, seperti halnya Haji Rasul di Jembatan Besi Padang Panjang. Daya tarik surau ini semakin besar setelah Ibrahim Musa belajar lagi ke Mekkah selama beberapa tahun dan kembali pulang pada tahun 1916. Semenjak waktu itu dia tingkatkan terus pengajiannya sehingga muridnya semakin bertambah dan seperti halnya dengan Padang Panjang, mereka berdatangan dari berbagai daerah di luar Sumatra Barat, termasuk dari Riau, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bengkulen. Pada tahun 1919 murid-murid surau Parabek ini mendirikan perkumpulan murid yang mereka namakan Jami’at al-Ikhwan atau Tsamarat al-Ikhwan atau Muzakarat al-Ikhwan dan yang terakhir inilah yang lebih kuat.[10]
Terbawa oleh perkembangan aktivitas dan kreativitas murid-murid Jembatan Besi Padang Panjang yang telah menyempurnakan nama organisasinya menjadi Sumatra Thuwailib, surau Parabek ini pun menyempurnkan nama Thuwailibnya menjadi Sumatra Thuwailib.
Dengan ini jelas bahwa sudah lahir dua buah Sumatra Thuwailib dari dua buah surau penting di Sumatra Barat, sebagai peningkatan dan penyempurnaan dua buah organisasi murid. Dua buah Sumatra Thuwailib inilah yang kemudian menjelma menjadi Sumatra Thawalib.
Menurut Mahmud Yunus, perkumpulan Sumatra Thawalib mula-mula didirikan di Padang Panjang denga nama Sumatra Thuwailib, maksudnya Thuwailib Sumatra yang berarti pelajar kecil Sumatra.[11]
Dari semula sudah tampak, bahwa antara surau Jembatan Besi dan surau Parabek terjalin hubungan yang sangat erat. Murid-muridnya saling tukar-menukar, cita-citanya sama, guru utamanya seperguruan dan bersahabat karib. Maka tidak heran kalau ada usaha yang terus menerus untuk mempersatukan kedua lembaga surau ini. Sewaktu murid meningkat dengan pesatnya dan perkumpulan juga makin terasa manfaatnya, timbulah ide untuk menjalin kerja sama yang lebih konkrit dengan membentuk satu organisasi yang dapat mendukung kedua belah pihak.
Didahului oleh pertukaran pikiran antara Sumatra Thuwailib Padang Panjang dengan Sumatra Thuwailib Parabek, baik antara pengurus dan pengasuhnya, maupun antara Haji Rasul dan Ibrahim Musa, terdapatlah kesepakatan untuk membentuk suatu Organisasi bersama.
Bertempat di surau Haji Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, diadakan pertemuan resmi untuk membicarakan pembentukan organisasi dimaksud. Dala pertemuan itu hadir wakil kedua organisasi didampingi guru utama mereka masing-masing dan disertai pula oleh Syekh Jamil Jambek sendiri. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan suatu organisasi bersama, tetapi belum konkrit wujudnya. Pertemuan ini kemudian dilanjutkan dengan konsultasi antara Padang Panjang dan Parabek. Akhirnya didapat kesepakatan yang bulat, yaitu membentuk suatu organisasi yang umum dengan cara melebur dan menggabungkan Sumatra Thuwailib Surau Jembatan Besi dengan Sumatra Thuwailib surau Parabek menjadi satu dengan nama baru yaitu Sumatra Thawalib. Ini terjadi pada tanggal 15 Februari 1920.
Sumatra Thawalib pertama ini diketuai oleh Haji Jalaluddin Thaib atau Hasyim al-Husni menurut Hamka, karena setelah satu tahun Hasyim jadi ketua, barulah digantikan oleh Haji Jalaluddin Thaib yang berkedudukan di Padang Panjang.[12]
Demikianlah Sumatra Thawalib lahir sebagai suatu organisasi tempat seluruh pelajar surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi bersatu dan memadukan aktivitas mereka yang sebelumnya digiatkan melalui organisasi lokal masing-masing. Kelahiran Sumatra Thawalib yang pertama ini diikuti oleh Sumatra Thawalib-Sumatra Thawalib surau lainnya di berbagai daerah, baik yang berada di Sumatra Barat maupun diluarnya, sampai ke Aceh dan Bengkulen.
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa Sumatra Thawalib lahir memang sebagai organisasi, yaitu organisasi murid atau pelajar-pelajar mengaji Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi Sumatra Barat. Tidak lama kemudian, setelah tampak hasil dan kegunaannya, daerah-daerah lain segera pula membentuk organisasi Sumatra Thawalib serupa. Sumatra Barat Menjadi demam Thawalib pada waktu itu.[13]
Perguruan Thawalib ini seterusnya berkembang dan berpengaruh ke daerah-daerah lain seperti: Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh dan salah satunya Kota Pariaman. Pendirian Perguruan Thawalib ini merupakan salah satu thawalib yang pertama di daerah Padusunan Pariaman.
Daerah IV Angkek Padusunan merupakan suatu desa kecil yang terletak lebih kurang 3 Km di sebelah utara Kota Pariaman dan 2 Km dari pantai pesisir Barat Samudera Indonesia, tidak mau ketinggalan dari desa/negeri sekitarnya dalam mendirikan sekolah agama, baik berupa pengajian di rumah-rumah, di surau-surau atau di madrasah.
Pengajian surau pertama di Padusunan sudah dimulai sekitar tahun 1910 di mesjid negeri Padusunan, sebuah surau bekas mesjid lama yang disebut Surau Usang dibawah pimpinan Tuanku Tuo Telur. Surau Gadang atau Surau Usang yang mula-mula tempat anak-anak mengaji Al-Qur’an, kemudian meningkat dengan pengajian kitab. Pada tahun 1914/1915, pengajian kitab sudah ramai di Padusunan. Murid-muridnya menginap (mondok) di surau. Murid-muridnya bukan saja berasal dari Padusunan, tetapi mereka datang dari negeri tetangga seperti, Kampung Dalam Pariaman, Nareh Pariaman, Kudu Pariaman, bahkan ada yang dari Riau, Rengat dan sebagainya.[14]
Pada waktu itu, ada surau kecil yang bernama “Surau Sarikaik” yang didirikan pada tahun 1914. Surau ini merupakan tempat mengaji Al-Qur’an, belajar ilmu agama, dan mengaji kitab. Cikal bakal beridirnya “Thawalib Padusunan” dimulai dari surau ini. Pada saat itu, H.Rahman ingin membeli kedai di Padang Panjang, karena beliau menetap di daerah ini saat itu. Setelah beliau berunding dengan menantunya, Pakiah Shaleh, yang juga merupakan orang yang paham ilmu agama, beliau mengusulkan supaya tidak usah membeli kedai di Padang Panjang. Dana yang ada sebaiknya disumbangkan untuk mendirikan sebuah sekolah agama, karena itu akan bermanfaat banyak bagi masyarakat. Usulan Pakiah Shaleh ini disetujui oleh H.Rahman sehingga berdirilah sebuah sekolah agama yang bernama “Perguruan Thawalib Padusunan”.[15]
Perguruan Thawalib ini didirikan tahun 1930 atas usaha satu keluarga. Perguruan Thawalib ini disponsori oleh Engku Bukhari M., Haji Rahman, dan Pakiah Saleh. Engku Bukhari merupakan alumni Thawalib Padang Panjang, sementara Haji Rahman tidak bersekolah, kecuali mengaji dan belajar Islam di Mekkah, Pakiah Saleh pernah belajar di Parabek tetapi tidak tamat. Haji Rahman merupakan seorang hartawan. Sewaktu beliau pergi ke Padang Panjang, H. Rahman melihat surau yang didirikan oleh Mak Adam  dan gedung Diniah School Putri yang baru selesai dibangun oleh Rahmah El-Yunusiah.
Pada saat dia kembali ke Padusunan, ia langsung mengerahkan dana dan tenaganya untuk membangun gedung sekolah. Berdirilah sekolah yang dinamakan dengan Thawalib laki-laki dan Thawalib perempuan. Masing-masing dipimpin oleh Engku Bukhari dan Tuanku Hamid. Pakiah Saleh membantu sebagai guru di perguruan tersebut.[16]
Setelah dua atau tiga tahun berdirinya kedua perguruan Thawalib Padusunan ini, goncanglah masyarakat karena ide-ide paham baru yang dianut dan dikembangkannya. Masyarakat yang biasa menerima pengajian di surau secara tradisional, belajar membaca al-Qur’an, rukun iman, rukun Islam dan sifat-sifat Tuhan. Namun, di Thawalib mereka belajar menggunakan kelas, duduk di bangku, menulis di meja, di muka kelas ada papan tulis, memakai buku dan sebagainya. Mata pelajaran yang mereka pelajari bukan hanya agama, melainkan bercampur dengan mata pelajaran umum yang selama ini tidak pernah mereka kenal. Apalagi putri, pantaskah mereka belajar seperti laki-laki dan menerima pelajaran yang bukan pelajaran agama. Padahal masyarakat telah menganggap bahwa kodratnya anak putri itu harus tetap di rumah dan mengerjakan segala pekerjaan rumah.
Selain dari itu, cara berpakaian para murid Thawalib, cara mereka beribadat di surau, buku-buku yang mereka baca dan sebagainya, dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran ulama selama ini. Sebab itu murid-murid Thawalib dan sebagian golongan muda-muda yang sepaham dengan mereka, dimusuhi dan tidak diterima oleh golongan tua-tua. Pertentangan ini demikian tajamnya, sehingga sering berkembang menjadi pertentangan fisik, karena golongan tua-tua kuat bertahan pada tradisi lama mereka dan keras menentang kehadiran paham baru yang juga memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak perempuan untuk bersekolah.[17]
Pada tahun 1932, seorang anggota keluarga Haji Rahman, yaitu Haji Rasul Telur, yang sudah lama bermukim dan belajar Islam di Mekkah dipanggil pulang. Kedatangannya kembali ke tanah air disambut dengan satu pertemuan yang dihadiri oleh sebagian ulama-ulama berpendidikan Sumatra Barat. Banyak ulama yang hadir di Padusunan waktu itu, sehingga mata masyarakat Padusunan terbuka bahwa pendidikan sangat penting bagi anak-anak mereka. Mulai saat itulah, mereka memberikan dorongan posotif terhadap Thawalib.
Sejak tahun 1923 itu, pimpinan thawalib putra dan putri diserahkan kepada Haji Rasul Telur yang dijabatnya hingga tahun 1935. Setelah Thawalib Padusunan dibuka secara resmi pada tahun 1931, H.Rasul Telur telah membuka kelas tinggi untuk mengaji kitab bagi murid laki-laki yang bertempat di serambi sebelah barat Surau Serikat, bersebelahan dengan tempat tinggal beliau. Murid-murid berdatangan dari berbagai daerah di Minangkabau dan sekitarnya, yang membuat Padusunan semarak, ramai dan maju. Apalagi semangat pergerakan lagi membara di Minangkabau, termasuk di Padusunan ini. Kelas ini masih berlanjut sampai madrasah thawalib sudah mempunyai kelas tertinggi di bawah asuhan Tuangku Husein.
Pada awal berdirinya Thawalib Padusunan ini, hanya terdiri atas tiga lokal saja dengan bangunan yang sangat sederhana, yaitu dengan bangunan yang semi permanen. Pelajaran yang diajarkan pada waktu itu seperti; Fiqih, Tauhid, Hadits, Nahu, Saraf, Tafsir dan ilmu Mantiq. Adapun guru-gurunya yang pertama waktu itu yaitu Ungku Mukhsin dari Sikapak Pariaman, Ungku Maringi dari Bato Pariaman, Ungku Bakar dari Cubadak Aie Pariaman, termasuk juga Pakih Saleh. Belajarnya dimulai dari jam 07.00 sampai jam 13.00 WIB. Sehabis belajar biasanya para murid menghabiskan waktunya dengan kegiatan olah raga setiap sore. Para santri tidur di asrama yang telah disediakan oleh perguruan Thawalib.[18]
Hal yang unik pada Thawalib ini adalah bahwa pelajar wanita belajar di balik dinding. Guru mengajar di depan kelas hanya menghadap murid laki-laki sedangkan murid perempuan belajar dari balik dinding. Ini berlaku untuk kelas empat dan lima, adapun kelas satu sampai dengan kelas tiga belajar campur satu kelas hanya duduk bersebelahan, murid laki-laki duduk di sebalah kanan kelas dan murid perempuan duduk sebelah kiri. Guru yang mengajar pada waktu itu adalah Gutuo Sakar untuk kelas rendah dan Gutuo Mendek untuk kelas tinggi. Walaupun belajar dari balik dinding, murid perempuan tetap tekun belajar dan disiplin, mungkin karena takut pada ujian dan mungkin karena tidak ingin kalah bersaing dengan murid laki-laki yang nota benenya belajar di depan guru.
Ujiannya sudah memakai kwartalan yaitu 3 kwartal dalam satu tahun. Ujiannya meliputi Kitaby dan Syafahy yang mereka ikuti dengan penuh semangat. Selain pelajaran harian di sekolah, setiap hari libur (hari jum’at) mereka diberi pelajaran “Kursus Pergerakan” seperti leadership sekarang, yaitu pelajaran organisasi dan admistrasi, pelajaran politik dan sebagainya. Yang menyangkut pergerakan, dipimpin oleh Gutuo Syair (salah seorang murid kelas tertinggi H. Rasul Telur). Waktu itu organisasi PMDS (Pemersatu Murid-Murid Diniyah School) yang berpusat di Padang Panjang, telah terbentuk rantingnya di Padusunan yaitu di Thawalib Padusunan ini pada tahun 1923 dengan ketuanya Kamarisah A.N. dan sekretarisnya Jamilah Majid lengkap dengan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM).
Pada tahun 1933 Haji Rasul Telur diminta oleh Haji Mukhtar Yahya untuk membantu mengajar di Islamic College Padang. Tugas ini beliau laksanakan dengan pulang pergi antara Padusunan-Padang. Pada tahun 1935, ia resmi pindah ke Padang dan pimpinan Thawalib diserahkan kepada Tuanku Husein dari Sikapak, Pariaman.[19]
B.     Masa Perkembangan dan Hubungan Thawalib Padusunan Pariaman dengan Thawalib Padang Panjang
1.      Masa Perkembangan
Sebagaimana layaknya suatu lembaga pendidikan, Thawalib Padusunan juga mengalami perkembangan dan pasang surut seperti lembaga pendidikan lainnya. Pada awal berdirinya Thawalib Padusunan ini, hanya terdiri atas tiga lokal saja dengan bangunan yang sangat sederhana, yaitu dengan bangunan yang semi permanen. Yang terdiri dari VII kelas, yaitu kelas I sampai VII. Pada tahun 1933 kelas tertinggi baru samapi kelas V, belajarnya mulai dari jam 08.00 pagi sampai jam 12.30. Adapun mata pelajaran yang diajarkan pada waktu itu terdiri dari 12 mata pelajaran, yaitu Fiqih, Tauhid, Nahu, Sharaf, Tafsir, Hadits, Musthalaah, Hadits, Ushul Fiqih, Manthiq, Maani, Al Badi, dan Al Bayan. Pada saat itu Thawalib ini dipimpin oleh H.Rasul Telur. Beliau merupakan seorang ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, setelah pulang dari sanalah beliau mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan di kampungnya yaitu Padusunan. Beliau berhasil membuka mata masyarakat untuk menerima sekolah agama ini. Beliau pernah memimpin Thawalib ini lebih kurang selama 11 tahun, yaitu dari tahun 1923 sampai 1935.
Awal tahun 1934 H. Rasul Telur menyerahkan pimpinan Thawalib kepada ulama muda yaitu Tuanku Husin dari Sikapak Pariaman. Tuanku Husin merupakan salah seorang aktivis muda “PERMI (Persatuan Muslim Indonesia)” sama seperti Gutuo Syair, yang semenjak PERMI dibubarkan dan para pemimpinnya dibuang ke Boven Digul, mereka yang muda-muda terjun ke bidang pendidikan dan mengajar di desa-desa. Tuanku Husin dengan jiwa muda, semangat muda dan cita-cita yang muda memimpin dan memacu sekolah mencapai sukses.
Pada waktu itu banyak pelajaran baru yang dimasukkan untuk menggugah semangat para pelajar, seperti:
1)      Al Jugkrafi (Ilmu Bumi)
2)      Tarbiyatul Wathan (Tata Negara)
3)      Islam Ruhul Madaniyah (Al Islam wa Karomer)
4)      Bahasa Arab dengan Muhadasah, Insjaa’, Imla’ dan Mahfuzhat dan sebagainya.
Di kelas V diajarkan tulisan indah (Khat Arab) dan Iszhatun Nasyiin (berisi semangat pergerakan dari Mesir) yang waktu itu termasuk buku terlarang, juga bahasa Inggris di kelas VII dan lain-lain.
Di bawah Pimpinan Tuanku Husin, Thawalib Padusunan menanjak maju dan banyak pelajar yang berdatangan dari luar Padusunan, seperti dari Naras Pariaman, Manggung Pariaman, Kampung Dalam dan juga pelajar tamu dari Sikapak Pariaman yaitu pelajar kelas tertinggi yang belajar vak tertentu. Para pelajar banyak yang datang dari jauh dengan naik sepeda dan ada pula yang tinggal di asrama. Asrama untuk wanita bernama “surau anjung” bertingkat dua yang terletak di belakang gedung sekolah lengkap dengan dapur dan sumurnya.
Gedung Thawalib ini terletak cukup ideal waktu itu, yaitu terletak di sebidang tanah di pinggir jalan agak kedalam. Surau serikat yang menjadi induk bangunan yaitu sebagai tempat shalat berjamaah, tempat majelis taa’lim sekali seminggu untuk kaum ibu dan kaum bapak, tempat tinggal guru besar dan sebagian pelajar laki-laki. Di sampingnya berdiri gedung sekolah dengan tiga lokal yang di depannya berdiri panggung batu tempat pidato dan rapat-rapat umum serta rumah kecil untuk guru kepala dan wakilnya.
Di belakang sekolah samping kanan terdapat Surau Anjung asrama bagi murid wanita. Masalah keamanan cukup terjamin, karena disamping langsung dibawah pengawasan para guru, pimpinan harian dipegang oleh seorang ibu setengah baya “Utih Rabiadah” dibantu oleh Anya Diman dan pelajar kelas tertinggi.
Kehidupan di asrama atau di Madrasah sangat akrab, baik sesama murid atau antara murid dan para pengajar, bagaikan orang tua dan anak-anaknya yang merupakan ciri khas Madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya. Pemandangan di sekeliling sekolah sangat indah, dengan di latar belakang terbentang perbukitan yang penuh oleh pohon kelapa yang melambai-lambai, sedangkan didepan terhampar sawah nan hijau sejauh mata memandang.
Pergaulan yang akrab dan lingkungan yang nyaman inilah yang memacu para murid untuk tekun belajar, disamping semangat juang yang setiap hari dipompakan oleh para guru. Pelajaran Al Islam Ruhul Madniyah betul-betul menanamkan rasa kesadaran, pengertian dan kecintaan terhadap Islam, sedangkan Izzhatun Nasyiin menanamkan gairah dan semangat juang yang tinggi. Demikianlah bulan demi bulan bejalan dan tahun pun berganti tanpa henti dan Madrasah Thawalib sampai mengantarkan murid-muridnya menamatkan pelajaran kelas VII.
Dibulan Rajab tahun 1354 H bertepatan dengan tahun 1935 para pelajar kelas VII Thawalib memasuki Eind Examen. Hampir semua mata pelajaran diujikan, baik kitaby maupun Syafahy. Yang beruntung sampai memasuki ujian akhir hanya 5 orang, yaitu 3 orang perempuan dan 2 orang laki-laki, yang lainnya gugur ditengah jalan, ada yang karena pindah dan ada yang sama sekali tidak melanjutkan sekolah.
Para examinator yang terdiri dari guru-guru besar dari luar, duduk di depan kelas dan pelajar di panggil satu demi satu bergantian. Pelajaran yang diujikan adalah:
1)      Tafsir dengan buku tafsir “Muhammad Abduh” juz 5 surat An-Nisa’ ayat “Waalmuhsanaat”.
2)      Fiqih dengan buku “Bidayatul Mujtahid” bab “Kitabun Nikah”.
3)      Nahu Sharaf dengan membaca matan kedua kitab tersebut dan Ushul Fiqih dalam Munaqasyah.
Para examinator terdiri dari ulama terkemuka daerah Pariaman yang diketuai oleh guru besar Engku H. Sutan Darab Mudir “Darul Maarif” Pariaman.
Pada waktu itu semua pelajar kelas VII lulus dengan baik. Sekolah mengadakan perayaan besar-besaran menyambut lulusan pertaman ini dengan memotong sapi dan sebagainya. Ijazah diserahkan dalam suatu malam recepti yang meriah, dihadiri oleh ninik mamak, cerdik cendekia, sahabat kenalan dan orang tua murid. Demekianlah setiap tahun Thawalib mengeluarkan murid-muridnya semenjak lulusan pertama tahun 1935.
Sebagaimana lazimnya Surau dan Madrasah di masa penjajahan Belanda, Thawalib ini hampir selalu dipakai dan dimanfaatkan sebagai basis perjuangan umat. Thawalib juga merupakan tempat menempa dan membina umat menjadi muslim yang baik, kuat iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Selain itu, karena pengaruh di masa penjajahan, secara tidak langsung dalam diri pelajar juga tertanam cinta kepada tanah air, membenci penjajahan dan segala bentuk kezaliman. Jadi, selain menambah pengetahuan agama, Thawalib ini juga berperan dalam membina generasi untuk menghadapi konial Belanda pada waktu itu. Secara tidak langsung, tertanam nilai aqidah dan rasa cinta kepada tanah air yang kuat dalam diri semua santri Thawalib.
Apalagi setelah PERMI dibubarkan dan pendiri-pendirinya dibuang ke Boven Digoel hampir semua akivisnya terutama yang muda-muda terjun kebidang pendidikan dihampir disemua desa se Sumatra Barat. Di Pariaman waktu itu terdapat tiga madrasah yang terkenal, bukan saja karena bagus pelajaran agamanya, tetapi juga tinggi semangat juangnya, yang pertama yaitu “Madrasah Thawalib Tepi Air Pariaman” yang langsung dibawah pimpinan guru besar Engku H. Sutan Darab, yang kedua madrasah “Thawalib Padusunan” yang dipimpin oleh seorang ulama briliant ex pemuda PERMI yaitu Engku Husin dan yang ketiga madrasah “Al Manar” Kampung Dalam Pariaman dibawah asuhan ulama muda ex PERMI juga yaitu Engku Abdur Rohim Al Manafi.
Selain itu ada juga sekolah sejenis itu seperti Chadijah School Kurai Taji dan sekolah Upik Japang (Noerjanah) di Lubuk Alung. Madrasah Thawalib Pariaman yang kemudian meningkat dengan sekolah sambungan Darul Maarif Pariaman adalah basis yang merupakan markas dan tempat bekumpulnya pemuda-pemuda dan ulama-ulama muda daerah Pariaman yang kemudian dengan semangat dan jiwa muda menyebar dan mengembangkan sayap hampir disemua desa di daerah ini termasuk negeri Padusunan.
Pada madrasah Thawalib Padusunan, pendidikan agama berhubungan erat dengan pendidikan pergerakan atau sebutlah pendidikan kebangsaan. Dua organisasi pemuda mewarnai kehidupan Thawalib Padusunan yaitu PMDS (Persatuan Murid-Murid Diniyah School) dan HPII serta dua organisasi kepanduan yaitu KIM (Kepanduan Indonesia Muslim) dan El Hilal.
PMDS sudah ada setahun sesudah Thawalib didirikan sedangkan HPII dua tahun kemudian. Setiap hari jum’at khusus untuk pelajaran kursus pergerakan, beroganisasi dan latihan berpidato. Pelajaran di sekolah dipraktekkan dalam pidato ini yang dicobakan pula dengan semangat yang berapi-api meneladani cara guru berpidato. Setiap hari besar umat Islam seperti Maulid dan Isra’ Mi’raj selalu dirayakan secara besar-besaran dengan mengundang para guru-guru terkemuka daerah Minang termasuk pimpinan pusat yang disebut pengurus besar dari PMDS dan HPII pria ataupun wanita.
Di Padusunan ini sebelum Thawalib berdiri sudah sering juga diadakan perayaan-perayaan besar dengan mengundang ulama-ulama besar dari Padang Panjang, Bukittinggi ataupun Payakumbuh. Panggung batu yang terletak di dapan sekolah adalah panggung untuk perayaan-perayaan besar. Waktu H. Rasul Telur kembali dari Mesir, seminggu lamanya perayaan keagamaan diadakan dengan mengundang guru-guru agama terkemuka antara lain Dr. Karim Amrullah, H. Daud Rasyidi, Inyiak Parabek, Syekh Abbas dan lain-lain.
Pembinaan umat betul-betul hidup dan berjalan terpadu bukan saja dengan pidato-pidato dan rapat-rapat umum, tetapi juga dengan bacaan-bacaan seperti majalah “Raya” dari Islamic College Padang, brosure, buletin dan koran dari PMDS dan HPII serta pelajaran rutin pada majelis ta’lim yang disebut “mingguan mangaji” sekali seminggu yaitu malam untuk kaum bapak/ibu dan siang untuk wanita termasuk anak-anak sekolah dan masyarakat sekitar. Kadang-kadang pelajar-pelajar kelas tertinggi terjun ke kampung-kampung untuk memberi pelajaran atau berpidato atau undangan desa yang bersangkutan. Menghadiri konferensi atau rapat-rapat organisasi di kota (cabang organisasi) termasuk pembinaan umat yang tiada taranya. Pokoknya pembinaan umat dizaman penjajahan betul-betul terarah dan kontinue, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak muda.
Madrasah dengan segala kelemahan dan kekurangannya mendidik para remaja hidup sederhana, rendah hati tetapi tinggi cita-cita menjadi kader-kader umat yang tangguh, mubaligh, ulama serta calon-calon sarjana yang mandiri. Adapun masalah dana hampir tak dapat dipercaya bahwa madrasah dengan banyak fungsi dan kegiatannya tetapi tidak mempunyai dana khusus kecuali gotong royong dan iuran dimana perlunya. Keterbukaan dan keikut sertaan semua pihak disertai pengertian dan kesadaran tinggi masyarakat benar-benar merupakan sumber dana yang tak pernah kering. Semua rela berkorban dan bersedekah, baik pengurus sekolah, guru-guru, murid-murid, orang tua murid bahkan masyarakat sekitar benar-benar ikhlas berkarya dan bekerja tanpa pamrih.
Pada tahun 1954 Thawalib Padusunan ini dipimpin oleh Zahar Shaleh yaitu anak dari Pakiah Shaleh. Pada saat itu, program pelajaran yang diberikan yaitu dengan menambahkan pelajaran umum di samping pelajaran agama yang telah dipelajari sebalumnya, pelajaran tersebut antra lain seperti Ilmu Bumi, Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Ilmu Alam, dan Bahasa Inggris.
Pada tahun 1955-1980 an murid thawalib ini sudah banyak yang berasal dari luar kota, seperti dari Aceh, Pekan Baru, dan lain sebagainya. Setiap siswanya yang tamat pada waktu itu dirayakan dengan meriah, bahkan ada orang dari Jakarta yang ikut merayakannya. Masa-masa ini merupakan masa yang cukup maju dalam perjalanan Thawalib Padusunan ini.
Setelah sekian tahun berjalan Thawalib ini mengalami masa kemundurannya, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pada tahun 1993 diadakan rapat untuk membicarakan tentang kemunduran thawalib ini. Lalu dihasilkanlah sebuah keputusan dengan mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Pendidikan Islam Thawalib (YPIT) dengan pendirinya yaitu Mak Bugin Dt. Bandaro Putiah. Sejak itulah thawalib ini mengalami kemunduran yang akhirnya dijadikan negeri pada tahun 2006 dengan kepala sekolah pertamanya yaitu ibu Hakimah.[20]
2.      Hubungan Thawalib Padusunan Pariaman dengan Thawalib Padang Panjang
Sebagaimana yang diketahui, Thawalib Padang Panjang merupakan cikal bakal dari berdirinya thawalib-thawalib yang ada di Sumatra Barat termasuk juga Thawalib Padusunan. Thawalib Padang Panjang inilah yang menjadi pelopor berubahnya sistem pelajaran halaqah menjadi sistem klasikal (berkelas) yang menjadi contoh bagi thawalib-thawalib di Sumatra Barat. Perubahan surau menjadi sekolah berkelas diawali dari Surau Jembatan Besi Padang Panjang dibawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrulla yang menamakan sekolahnya dengan Sumatra Thawalib atau Perguruan Thawalib Padang Panjang. Sebab itulah surau ini diakui sebagai perintis lahirnya perguruan Thawalib di Sumatra Barat.
Menurut pengakuan pewaris Thawalib yang tergabung dalam Yayasan Perguruan Thawalib Padang Panjang, tahun 1911 dicatat sebagai tahun kelahiran perguruan Thawalib Padang Panjang. Ini ditandai dengan kehadiran Syekh Abdul Karim Amrullah dan Haji Rasul di Padang Panjang. Beliau mulai mengajar dan kemudian diserahi untuk memimpin Surau Jembatan besi semenjak tahun 1911 itu. Dan semenjak itulah gairah mengaji di Surau Jembatan Besi mulai bergelora, kemudian surau itu berfungsi sebagai salah satu pusat gerakan kaum muda. Dari surau ini terpancar gerakan sebagai pendorong kemajuan pendidikan, publikasi, tabligh-tabligh akbar dan perdebatan-perdebatan umum dengan ulama-ulama pembela Islam tradisional dan adat.
Walapun demikian, perguruan Thawalib ini pada mulanya tetap berjalan dan dilaksanakan secara tradisional atau sistem halaqah. Murid-murid dan guru bersama-sama duduk di lantai dan membentuk lingkaran, kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, murid-murid mendengarkan, berusaha memahami dan menghafal apa yang telah didengar dari gurunya.
Perubahan dan pembaharuan yang pertama-tama sekali dilaksanakan di surau ini ialah menyelenggarakan pendidikan berkelas mulai tahun 1918. Murid-murid dibagi menjadi 7 kelas menurut umur dan tingkatan pendidikannya atau tingkat kajinya. Sebab itulah Perguruan Thawalib Padang Panjang berhasil menampilkan dirinya sebagai Perguruan Islam Pelopor. Untuk daerah Sumatra Barat, ia menjadi percontohan dan perangsang lahirnya perguruan Thawalib lain dan untuk luar daerah Sumatra Barat, ia langsung memberikan tenaga-tenaga pendidik yang dihasilkannya untuk mendirikan berbagai Perguruan Thawalib di luar Sumatra Barat.[21]
Sebagaimana Haji Jalaluddin Thaib yang dikirim ke Aceh, Husein al-Husni murid Haji Rasul yang dikirim ke Sungai Aur, daerah perbatasan Tapanuli, dan mendirikan perguruan thawalib di sana. Kemudian Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur, dikirim ke Kuala Simpang, Aceh, untuk mendirikan Sumatra Thawalib dan perguruannya.[22]
Hubungan lain antara Thawalib Padusunan dengan Thawalib Padang Panjang ialah, sebelum Thawalib Padusunan didirikan, Haji Rahman (salah seorang pendiri Thawalib Padusunan) pernah pergi ke Padang Panjang lalu ia melihat surau yang didirikan Mak Adam (murid Haji Rasul) dan gedung Diniah School Putri yang baru selesai dibangun oleh Rahmah El-Yunusiah.
Waktu Haji Rahman kembali ke Padusunan, ia langsung mengerahkan dana dan tenaganya untuk membangun gedung sekolah. Maka berdirilah sekolah yang dinamakan Perguruan Thawalib laki-laki dan Perguruan Thawalib perempuan di Padusunan ini. Masing-masing dipimpin oleh Engku Bukhari dan Tuanku Hamid. Pakiah Saleh membantu sebagai guru pada keduanya.
Kemudian dalam perjalanannya, Thawalib Padusunan ini juga menjalin hubungan yang baik dengan Thawalib Padang Panjang. Hal ini terbukti dengan seringnya ulama-ulama dari Thawalib Padang Panjang diundang ke Thawalib Padusunan, baik dalam acara peringatan maupun dalam hal pendidikan. Sewaktu Haji Rasul Telur kembali dari Mesir seminggu lamanya perayaan kegamaan diadakan dengan mengundang guru-guru agama terkemuka antara lain Syekh Abdul Karim Amrullah, Haji Daud Rasyidi, Syekh Abbas dan lain-lain. Disini dapat kita lihat bahwa Thawalib Padusunan menjalin hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lain yang ada di Sumatra Barat, termasuk Thawalib Padang Panjang.
C.    Faktor Penunjang dan Penghambat Dalam Mengembangkan Pendidikan
Diantara faktor penunjang dan penghambat jalannya Perguruan Thawalib Padusunan ini adalah sebagai berikut.
1.      Faktor Penunjang dalam Mengembangkan Pendidikan
a.       Faktor penunjang pertama yang sangat penting bagi pendirian thawalib ini yaitu adanya sumbangan dana dan tanah dari seorang hartawan yang dermawan yaitunya Haji Rahman. Beliau merupakan seseorang yang sangat dermawa dan juga peduli terhadap kemajuan pendidikan. Sumbangan yang beliau berikan sangat bermanfaat bagi perkembangan thawalib ini, karena bangunan thawalib ini berdiri di atas tanah beliau.
b.      Adanya sumbangan dana dari para masyarakat, donatur, maupun orang rantau, karena majunya sebuah pendidikan tidak bisa terlepas dari sumber dana. Kalau tidak ada dana, maka sekolah ini tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menggaji para guru dan membeli fasilitas yang dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar. Dana diperoleh dari iuran para murid, masyarakat, donatur-donatur dan masyarakat yang berada di rantau.
c.       Adanya murid, salah satu faktor penunjang bagi berjalannya sebuah lembaga pendidikan ialah dengan adanya murid. Jika tidak ada murid maka sebuah sekolah tidak akan bisa berdiri. Pada awal berdirinya Thawalib ini memang tidak mempunyai murid yang banyak. Tapi sudah sekian tahun berjalan, sekitar tahun 50-an murid-murid thawalib ini banyak yang datang dari luar daerah, seperti dari Aceh, Riau, dan daerah-daerah Minangkabau. Inilah salah satu faktor yang membuat thawalib ini berkembang dengan baik.
d.      Kemudian Perguruan Thawalib ini juga didukung oleh tenaga pengajar yang cukup baik, yang berasal dari alumni, ulama-ulama besar yang ada di daerah Pariaman, seperti Haji Rasul Telur, Tuanku Husin, Zahar Saleh, Pakiah Saleh, dan lain-lain.
e.       Terjalinnya hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lain. Thawalib Padusunan menjalin hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lainnya, hal ini terbukti sewaktu acara-acara perayaan besar, Thawalib Padusunan mengundang berbagai ulama besar dari thawalib lain, seperti Syekh Abdul Karim Amrullah, Haji Daun Rasyidi, Syekh Abbas dan lain-lain.
f.       Terjalinnya hubungan yang baik antara guru dengan murid. Kehidupan di asrama atau di Madrasah Thawalib Padusunan sangat akrab, baik sesama murid atau antara murid dan para pengajar, bagaikan orang tua dan anak-anaknya yang merupakan ciri khas Madrasah dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya.
2.      Faktor Penghambat Dalam Mengembangkan pendidikan
Adapun faktor penghambat jalannya Perguruan Thawalib ini adalah sebagai berikut.
a.       Kurangnya dana yang dimiliki untuk kelangsungan pendidikan. Dana merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengembangkan sebuah lembaga pendidikan, tanpa adanya dana yang cukup sekolah tidak akan berjalan dengan baik. Thawalib ini merupakan lembaga pendidikan swasta, dana yang didapat hanya berasal dari iuran murid, masyarakat, donatur, dan orang-orang rantau. Tidak ada dana tetap untuk Thawalib ini, maka dengan sulitnya dana ini, Thawalib tidak bisa berjalan dengan semestinya.
b.      Kurangya minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di Thawalib ini. Ini merupakan salah satu faktor yang membuat Thawalib ini mengalami kemunduran. Para orang tua murid kurang berminat lagi masukkan anak mereka ke sekolah agama dan cenderung menyekolahkan anaknya di sekolah umum.
c.       Banyaknya berdiri sekolah-sekolah umum di Kota Pariaman. Dengan banyaknya sekolah umum yang berdiri dan melihat bahwa sekolah umum lebih bagus dari pada Thawalib, maka para masyarakat lebih berminat menyekolahkan anaknya di sekolah umum dari pada di Thawalib. Sebab itulah murid yang masuk ke Thawalib sudah mulai sedikit dan mengalami kemunduran.
D.    Usaha Pimpinan Thawalib Padusunan Untuk Memajukan Thawalib
Adapun usaha-usaha yang dilakukan pimpinan Thawalib untuk memajukan Thawalib Padusunan adalah sebagai berikut.
1.      Mengusahakan dana-dana yang diperlukan untuk Thawalib ini. Selain dana dari para orang tua murid, dana juga diusahakan dari sumbangan masyarakat, donatur-donatur dan orang-orang Padusunan yang tinggal di daerah rantau. Dari sinilah mereka mendapatkan dana untuk sekolah ini, karena dana ini merupakan faktor yang sangat penting untuk menjalankan sebuah pendidikan.
2.      Mendatangkan tenaga pengajar yang cukup ahli dalam bidangnya masing-masing. Tenaga pengajar yang baik akan mendukung majunya sebuah lembaga pendidikan. Tenaga pengajar ini mereka datangkan dari para alumni Thawalib ini sendiri dan dari ulama-ulama yang terkenal di daerah Pariaman.
3.      Meningkatkan mutu pelajaran di Thawalib, salah satunya dengan cara manambahkan pelajaran-pelajaran ekstra selain dari pelajaran wajib yang telah ada. Seperti belajar praktek pidato setiap hari jum’at dan pelajaran tentang organisasi atau kepemimpinan.
4.      Menjalin hubungan yang baik dengan dengan thawalib-thawalib lain yang ada di Sumatra Barat. Dengan terjalinnya hubungan yang baik dengan thawalib-thawalib lainnya, maka tidak tertutup kemungkinan mendatangkan bantuan dari thawalib-thawalib tersebut.
5.      Menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat setempat. Peran masyarakat sangat membatu dalam menjalankan sebuah pendidikan, karena salah satu sumber dana yang diperoleh Thawalib Padusunan ini yaitu sumbangan dari masyarakat.
E.     Analisis
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, kita dapat melihat bahwa Perguruan Thawalib Padusunan ini telah mengalami fase perkembangan, kemajuan dan kemunduran. Dimana fase awal Perguruan Thawalib Padusuan ini, berusaha untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan yang diakui keberadaannya dan juga ikut berperan serta dalam memajukan pendidikan di daerah Pariaman khususnnya dan nasional pada umumnya. Namun pada dekade delapan puluhan, Perguruan Thawalib ini mengalami kemunduran sampai berubah statusnya manjadi MTsN.
Pariaman merupakan daerah yang terkenal dengan tarekatnya yang kental. Kehadiran lembaga pendidikan thawalib ini dipelopori oleh ide-ide pembaharu dari kaum muda. Ini merupakan suatu tantangan yang dihadapi dalam pendirian thawalib ini. Pada awalnya masyarakat tidak menerima kehadiran thawalib ini secara mudah. Masyarakat merasa asing dengan kehadiran thawalib ini, karena sistem belajarnya yang jauh berbeda dengan sistem belajar di surau. Di surau mereka mengaji dengan mendengarkan guru membacakan kitab, duduk melingkar atau disebut juga dengan halaqah. Setelah kehadiran thawalib ini yang awalnya mereka belajar berhalaqah, berubah menjadi berkelas, memakai bangku, meja, papan tulis, dan buku-buku pelajaran. Masyarakat menganggap sistem pelajaran secara klasikal ini merupakan sistem pelejaran gaya barat dan tidak cocok untuk masyarakat kita. Masalah ini baru teratasi setelah Haji Rasul Telur pulang belajar dari Mesir. Beliua lah yang memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya pembaharuan dalam bidang pendidikan. Beliua mengadakan seminar dan mengundang ulama-ulama besar di Sumatra Barat pada waktu itu. Setelah itu lah masyarakat baru bisa manerima atas kehadiran lembaga pendidikan thawalib ini.
Masa perkembangan Thawalib Padusunan ini berlangsung sekitar tahun 1954 yang waktu itu dipimpin oleh Zahar Shaleh yaitu anak dari Pakiah Shaleh. Pada saat itu, pelajaran yang diberikan yaitu sudah banyak yang ditambah dengan pelajaran umum di samping pelajaran agama yang telah dipelajari sebalumnya, pelajaran tersebut antra lain seperti Ilmu Bumi, Ilmu Mantiq, Ushul Fiqh, Ilmu Alam, dan Bahasa Inggris.
Pada tahun 1955-1980-an murid Thawalib ini sudah banyak yang berasal dari luar kota, seperti dari Aceh, Pekan Baru, dan lain sebagainya. Setiap siswanya yang tamat pada waktu itu dirayakan dengan meriah, bahkan ada orang dari Jakarta yang ikut merayakannya. Masa-masa ini merupakan masa yang cukup maju dalam perjalanan Thawalib Padusunan ini.
Selain itu Thawalib juga merupakan pusat dan basis perjuangan umat Islam di Sumatra Barat khususnya daerah Padusunan. Thawalib juga dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang dimanfaatkan untuk penyebaran, pelestarian dan mempelajari hukum-hukum agama Islam. Selain sebagai pusat penyebaran dan pelajaran agama Islam, Thawalib juga berfungsi sebagai tempat membina dan menghasilkan tenaga-tenaga muda atau ulama-ulama muda bagi pengembangan dan penyiaran agama Islam.
Perguruan Thawalib ini mengalami kemunduran, tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkannya, seperti yang telah penulis paparkan dalam poin-poin terdahulu. Disebabkan satusnya yang tidak Negeri, Thawalib ini susah mendapatkan dana untuk melangsungkan pendidikan. Tidak ada dana tetap untuk Thawalib ini, dana yang didapat hanya di harapkan dari iuran-iuran dan para donatur. Tentunya dana yang diharapkan itu tidak tetap jumlahnya, terkadang cukup bahkan terkadang kurang untuk melangsungkan pendidikan. Dana ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menjalakan sebuah pendidikan, tanpa dana yang cukup sebuah lembaga pedidikan tidak bisa berjalan dengan baik, karena dalam melangsungkan sebuah pendidikan membutuh sarana dan parasarana untuk proses belajar mengajar dan itu membutuhkan dana untuk mendapatkan.
Kemudian yang menyebabkan Thawalib Padusunan ini juga mengalami kemunduran, disebabkan para masyarakat kurang berminat lagi untuk mnyekolahkan anak mereka di Thawalib ini. Masyarakat lebih berminat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum. Mereka menganggap sekolah umum lebih bagus dari pada thawalib karena status sekolah umum sudah negeri dan mendapat perhatian dari pemerintah. Makanya setelah sekolah umum banyak berdiri Thawalib ini banyak mengalami kemunduran, karena muridnya semakin lama semakin sedikit.



[1] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 81
[2] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 82
[3] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 82
[4] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 83
[5] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 84
[6] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 85
[7] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 86
[8] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 86
[9]  Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 88
[10] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 89
[11] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 90
[12] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 91
[13] Ibid Burhanuddin Daya,  hal. 93
[14] Aisyah Dahlan. Thawalib School Padusunan. Arsip. 1930-1985.
[15] Amir Hosen dt. Bandaro Putiah, Ketua KAN Padusunan, Jati Pariaman, Wawancara, 3-11-2012

[16] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 145
[17] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 144
[18] Amir Hosen dt. Bandaro Putiah, Ketua KAN Padusunan, Jati Pariaman, Wawancara, 3-11-2012
[19] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 144-145
[20] H. Rahamah, Alumni Thawalib Padusunan, Kampung Baru Padusunan Pariman, Wawancara, 3-11-2012.
[21] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 113
[22] Ibid, Burhanuddin Daya, hal. 123

Tidak ada komentar: