Maulid Nabi Muhammad Saw.
Perayaan Maulid
merupakan ekspresi kebahagiaan dan kegembiraan dengan diutusnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan hal ini termasuk perkara yang diharuskan
karena Al-Qur’an memerintahkannya
sebagaimana
yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala :
{قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ}
“Katakanlah, dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira” (Qs. Yunus; 58).
Ayat ini memerintahkan kita
untuk bergembira disebabkan rahmat-Nya, sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah
rahmat Allah yang paling agung, Allah Ta’ala berfirman;
{وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ }
“Dan tidaklah kami utus kamu
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam” (Qs. Al Anbiya’; 107)
Sanggahannya; Bergembira dengan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
kelahirannya, syariat-syariatnya pada umumnya adalah wajib. Dan penerapannya
disetiap situasi, waktu dan tempat, bukan pada malam-malam tertentu.
Kedua; pengambilan dalil surat
Yunus; 58 untuk melegalkan acara maulid nyata sangat dipaksakan. Karena para
ahli tafsir seperti Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Al Baghawi, Al Qurthubi dan Ibnul
Arabi serta yang lainnya tidak seorangpun dari mereka yang menafsirkan bahwa
yang dimaksud dengan kata rahmat pada ayat tersebut adalah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun yang dimaksud dengan rahmat adalah Al
Qur’an. Seperti yang diterangkan dalam ayat sebelumnya;
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ
وَشِفَاء لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ }
“Wahai manusia, sesungguhnya
telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman”. (Qs. Yunus; 57).
Ibnu Katsir menerangkan; “Firman
Allah Ta’ala “rahmat dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman” maksudnya
dengan Al-Qur’an, petunjuk dan rahmat bisa didapatkan dari Allah Ta’ala. Ini
hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang beriman dengan Al-Qur’an dan
membenarkannya serta meyakini kandungannya. Hal ini senada dengan firman Allah
Ta’ala;
{وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَارًا}
“Dan kami turunkan dari
Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman” (Qs. Al Israa’; 82).
2- Syubhat kedua;
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri mengagungkan hari kelahirannya,
beliau mengekspresikan hal itu dengan berpuasa, seperti diriwayatkan dari Abu
Qatadah Ra bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang puasa
hari senin, beliau menjawab; “Pada hari itu aku dilahirkan, aku diutus atau
diwahyukan kepadaku”.
Sanggahannya;
Hadist Abu Qatadah Ra diatas adalah hadist yang shahih, tapi
menjadikannya sebagai dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
merayakan sendiri kelahirannya, ini yang salah. Kesimpulannya dalilnya shahih,
pendalilannya salah. Dikarenakan beberapa alasan;
1- Diriwayatkan dalam hadist yang
lain, bahwa puasa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dihari senin, karena
amalan dihari itu diperlihatkan kepada Allah Ta’ala.
2- Kalau ucapan mereka benar,
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpuasa dalam rangka merayakan
kelahirannya, kenapa tidak ada seorang pun dari shahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam yang memahami sabda diatas dengan pemahaman demikian. Kemudian
datang orang-orang belakangan yang memahami puasa beliau di hari senin sebagai
ekspresi pengagungan terhadap hari kelahirannya, lalu dari situ mereka
mengadakan acara yang dinamakan maulid!! Apakah mereka lebih mengetahui
kebenaran dari para shahabat yang mulia dan hanya diketahui oleh orang yang
datang belakangan?! Sungguh ajaib logika orang-orang pintar akhir zaman
hasbunallahu wani’mal wakiil.
3- Syubhat ketiga;
perkataan mereka; “Perayaan Maulid memang bid’ah, tapi bid’ah hasanah (baik)”
Sanggahannya; cukup dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Setiap
bid’ah adalah sesat”. Dan seperti itu pulalah yang disampaikan Ibnu Umar Ra
kepada orang-orang yang memiliki anggapan salah ini, kata beliau; “Setiap
bid’ah adalah sesat walaupun orang menganggapnya baik”.
Al Imam Malik rahimahullah
berkata; “Barangsiapa yang membuat bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya baik,
ia telah menuduh Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam khianat dalam
menyampaikan risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman;
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ
مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ}
“Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Qs. Al Maidah; 3) maka segala
sesuatu yang bukan agama dihari itu, bukan pula agama dihari ini.
Apabila ajaran maulid adalah
petunjuk dan kebenaran, kenapa Rasululah SAW dan para shahabatnya, tidak pernah
menganjurkannya?! Apakah mereka tidak tahu?! Kemungkinan yang lain, mereka tahu
tapi menyembunyikan kebenaran. Dua kemungkinan ini sama batilnya!! Alangkah
dzalim apa yang mereka perbuat kepada nabinya dengan alasan cinta kepadanya?!
Abu said
Abu Said al-Kharroz, yang meninggal pada tahun 279
Hijriyyah. Abu Said al-Kharroz dipandang sebagai sufi yang banyak banyak
menaruh perhatian pada tingkatan-tingakatan dan keadaan-keadaan dalam
perjalanan menuju Allah. Hal ini diuraikannya dalam Kitab karya nya yang
berjudul Thoriq ila Allah wa Kitab al-Shidq.Dalam kitab karangannya Thoriq ila Allah wa Kitab al-Shidq, Abu Said al-Kharroz menguraikan tingkatan-tingkatan tentang Ikhlas, kesabaran, kerendahan hati, Zuhud atau asketisme, tawakal, rasa takut, rasa malu, syukur, ridha, rasa rindu kepada Allah, dan rasa akrab.
Abu Said al-Kharroz, mendirikan Thariqot sufi, yaitu al-Kharroziyyah, yang dinisbatkan kepada beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar