NAMA : YON RIZAL
BP : 509.111
FAQIR
A. Definisi
1.
Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam
kitabnya banyak menyetir hadits-hadits yang bagi penulis tidak jelas perowinya,
menunjukkan keutamaan-keutamaan orang fakir. Seperti dalam hadits yang ada
dalam buku berjudul ‘RINGKASAN IHYA’ UMULUDDIN AL-ghazali’ tertulis bahwa ada
sebuah hadis dari. Haids dari Imran bin Husain diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa
Rasulullah saw bersabda
‘Sesungguhnya Allah menyintai orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga.’
Dalam hadis lain
Rasulullah saw juga bersabda,’ orang-orang fakir dari umatku masuk surga
sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan selisih waktu lima ratus tahun.’ Diriwayatkan
oleh At-Turmidzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah menceritakan pengalamannya
bertemu dengan malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw,’
wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu. Dia
berfirman : apakah engkau menginginkan jika Aku menjadikan gunung sebagai emas
dan selalu bersamamu ?’ Rasulullah menjawab,’ sesunggunya dunia hanyalah
kampung bagi orang yang tidak memiliki harta dan harta hanya dikumpulkan bagi
orang-orang yang tidak mempunyai akal,’ Jibril a.s berkata, ‘wahai Muhammad,
semoga Allah meneguhkan engkau dengan kalimat yang teguh ( hikmah ).’ Dalam
hadis lain disebutkan,’ para nabi yang paling akhir masuk surga adalah Sulaiman
putra Dawud as karena kedudukan kerajaannya. Dan sahabatku yang paling akhir
masuk surga adalah Abdurrrahman bin Auf karena harta kekayaannya.’
Orang-orang fakir
yang ikhlas dan tak berkeluh kesah menghadapi keadaannya adalah manusia yang
paling utama. Ia tenang dan qanaah dari apa yang diterimanya atas karunia
Allah. Karena itu Rasulullah saw bersabda,’berbahagialah orang yang mendapatkan
petunjuk kepada Islam dan kehidupannya merasa cukup (tidak menjadi beban orang
lain) dan puas apa yang ada. Rasulullah saw bersabda,’wahai golongan
orang-orang yang fakir, berikanlah keridhaan dari hati kamu kepada Allah pasti
kamu akan mendapatkan kebahagiaan dengan pahala kefakiran. Apabila tidak kamu
tidak memperolehnya.’ Orang fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan
pahala. Sedangkan fakir yang rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari
kemiskinannya itu. Diterangkan bahwa orang-orang fakir yang sabar akan duduk
berkumpul dan dekat dengan Allah di hari kiamat. Rasulullah saw bersabda,’
sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai kunci. Adapun kunci surga adalah
menyintai orang-orang miskin dan orang-orang fakir, karena kesabaran mereka.
Mereka adalah orang-orang yang duduk berkumpul dekat Allah pada hari kiamat.
2.
JUNAIDI AL BAGHDADI
Junaid Al Baghdadi
mengatakan, “Wahai kaum fakir, kau dikenal melalui Allah dan dihormati demi
Allah. Jagalah perilakumu bilamana kau sendirian dengan-Nya. Serendah-rendah
manusia adalah dia yang dianggap taat kepada Allah, namun sebenarnya tidak.
Sedangkan manusia yang paling mulia adalah dia yang tidak dianggap taat kepada
Allah, namun sesungguhnya dia taat.
Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”
Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”
3.
HAMZAH FAZURI
Uraian tentang
faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan maqamat,
terutama sekali gambarannya secara simbolik, dijumpai banyak sekali dalam
syair-syair Hamzah Fansuri. Kata-kata faqir bahkan dijadikan penanda kesufian
atau kepengarangan, sering pula ditamsilkan sebagai anak dagang atau anak jamu
(orang yang bertamu). Penamsilan ini diambil dari al-Qur’ an dan Hadis, dan
memiliki kontek sejarah, khususnya sejarah penyebaran Islam di kepulauan
Nusantara.
Arti kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya ialah merantau ke tempat lain dan menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang baru.
Arti kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya ialah merantau ke tempat lain dan menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang baru.
Kata-kata ini
diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, ”Kun
fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi
al-qubur” (”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara
dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”) Begitu pula pengertian
faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada
dunia. Keterpautannya semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat al-Qur`an yang
dijadikan rujukan,Yaitu Al Baqarah Ayat 268
Artinya : Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. dan QS Al Fathir Ayat 15.
Artinya ”Hai
manusia ! Kamulah
yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi
maha terpuji.”
Jelaslah bahwa
yang dimaksud faqir bukanlah orang miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu `Ishaq
al-Kalabadhi dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf )abad
ke-11 M) mengutip Ibn al-Jalla yang mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa tiada
sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh
menjadi milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka lebih
mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).
4.
Ali Uthman al-Hujwiri
Dalam kitabnya
Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr man
khala min al-zad, inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan
orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa
dari nafsu rendah’.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu
sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah
hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran
serta tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
B. KEFAQIRAN HAKIKI.
Kefakiran
mempunyai bentuk (rasm) dan hakikat. Bentuknya adalah kemiskinan, sedangkan
hakikatnya adalah keberuntungan dan pilihan bebas. Dia yang memandang bentuk,
bertumpu pada bentuk, dan karena gagal mencapai sasarannya, lari dari hakikat.
Namun, dia yang menemukan hakikat, mencegah pandangannya dari semua ciptaan,
dan dalam peniadaan segala selain-Nya dengan sempurna. Karena hanya dengan
memandang kepada Yang Maha Esa, maka dia menuju hidup yang kekal. Nabi saw.
dalam salah satu riwayat bersabda, “Pada Hari Kebangkitan, Allah akan berkata,
‘Bawalah olehmu orang-orang yang Kucintai mendekat kepada-Ku’; kemudian
malaikat-malaikat akan berkata,’Siapakah orang-orang yang Kau cintai?’ Allah
pun menjawab,’Orang-orang fakir dan yang tak punya’.” Dalam pandangan Farid
Al-Din ‘Aththar, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan
spiritual seorang mu’min. Tahapan tersebut adalah thalab (pencarian), ‘isyq
(cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas), faqr (kefakiran) dan
fana’ (lebur). Pembahasan tentang selain kefakiran dan merasa puas bukanlah
tujuan dari tulisan ini, sehingga tidak akan kita perpanjang di sini.
C. SIFAT ORANG-FAQIR
Al Quran
menggambarkan sifat orang fakir ini sebagai berikut,
Artinya :
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang
kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 2: 273)
Abul Al Hasan
Nuri, sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan
ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam;
dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak
memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya. Pada
prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya
bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah
cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan
adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal
itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua,
ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila
memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut
adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya
adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya. Sifat utama faqir adalah wawasan
dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar
disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi
seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh
kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar
dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata
disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh
tingginya moral dan ketangguhan spiritual Dalam gagasan ini seorang faqir
adalah pribadi wara` dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani
pamrih dan kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada
dunia. Faqr semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti
Imam Husein, Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro
dan Ayatullah Khomeini.
Kesimpulan.Dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa fakir itu adalah orang
yang tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Imam Al-Ghazali mengkasifikasikan
hakikat fakir itu dan memberinya masing-masing nama ; Hal yang pertama, adalah
jika orang itu diberi harta, orang itu tidak menyukainya dan orang itu merasa
tersiksa dengan harta tersebut. Maka orang itu disebut zuhud.
Hal yang kedua,
ialah orang tersebut tidak menyukai harta walaupun orang itu berhasil
memperoleh harta tersebut dengan penuh kesenangan. Tapi orang tersebut tidak
membenci dengan harta yang diperolhnya itu, maka ia disebut rela Hal yang
ketiga, yaitu orang tersebut diberi harta namun tidak sampai harta tersebut
menggerakkan orang itu untuk mencarinya, tapi orang itu tetap mau mengambilnya.maka
sifat itu disebut qona’ah. Hal yang keempat, orang tersebut lemah dalam mencari
harta namun ia tetap mau mencarinya walupun dengan bersusah payah, hanya karena
kerakusannya. Orang ini disebut rakus harta. Hal yang kelima, orang tersebut
tidak memiliki harta sama sekali kalaupun ada orang tersebut masih saja
dibilang telanjang kalaupun memakai pakaian. Maka orang itu disebut ‘terpaksa’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar